Target Pajak Naik, Plastik dan Minuman Berpemanis akan Kena Cukai
Dewan Perwakilan Rakyat menaikkan target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2022 sebesar Rp 3,1 triliun menjadi Rp 1.501 triliun. Salah satu strategi untuk mencapai target tersebut dengan memberlakukan cukai plastik serta makanan dan minuman berpemanis.
Kenaikan target penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dinaikkan Rp 2,1 triliun menjadi Rp 1.265 triliun. Kemudian penerimaan kepabeanan dan cukai ditambah Rp 1 triliun menjadi Rp 245 triliun.
"Kami berharap nanti harus ada ketegasan tentang cukai plastik, sampai hari ini beberapa kali kami rapat kerja di Komisi XI, maunya pemerintah itu seperti apa karena undang-undangnya sudah ada," kata Anggota Badan Anggaran DPR RI Fauzi Amro dalam rapat Panja Asumsi Dasar, Pendapatan, Defisit RUU APBN 2022, Kamis (9/9).
Selain pengenaan cukai plastik, Amro mengatakan makanan dan minuman berpemanis juga sudah masuk daftar barang kena cukai di beleid baru yang tengah disusun. Dia melihat ada potensi besar peningkatan penerimaan cukai dari makanan dan minuman berpemanis.
Pengenaan cukai makanan dan minuman berpemanis kemungkinan akan berlaku untuk semua merek. Namun, Amro mengusulkan agar pemerintah nanti menyediakan klaster-klaster khusus.
Anggota Banggar DPR RI lainnya Ecky Awal Mucharam mengatakan kenaikan target penerimaan perpajakan tersebut masih masuk akal. Catatannya, pemerintah perlu berupaya semaksimal mungkin untuk merealisasikannya.
Ecky juga menilai pemerintah memasang target berdasarkan asumsi aturan yang ada saat ini, belum termasuk berbagai kebijakan baru yang tengah dirancang. Sehingga, berbagai rencana perbaikan tersebut dapat terefleksikan ke dalam target penerimaan perpajakan di RAPBN 2022.
Selain melalui ekstensifikasi penerimaan kepabeanan dan cukai, dia juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi berbagai belanja perpajakan. Dia menyadari berbagai insentif perpajakan merupakan bagian dari kebijakan countercyclical di musim paceklik seperti sekarang.
Namun dia mempertanyakan efektifitas insentif perpajakan ini terhadap pertumbuhan ekonomi. "Misalnya restitusi ekspor. Ada badan-badan ekspor yang mendapatkan fasilitas itu justru devisanya tidak otomatis atau tidak ada kewajiban masuk ke Indonesia," kata Ecky.
Dia menyarankan agar pemerintah bisa memanfaatkan penarikan devisa dari produk-produk berorientasi ekspor yang memperoleh fasilitas perpajakan.