Setelah menanti tiga minggu, berkas salinan putusan setebal 457 halaman diterima Didit Wijayanto pada Rabu pekan lalu. Didit yang merupakan kuasa hukum dari karyawan Bank Permata menunggu salinan putusan itu untuk membuat memori banding bagi kliennya.
"Telah terjadi peradilan sesat, itu yang menjadi dasar kami mengajukan banding. Banyak hal baru yang bisa disampaikan dalam memori banding yang akan menjelaskan duduk persoalan kepada pengadilan tinggi,” kata Didit kepada Katadata.co.id, akhir pekan lalu.
Pada 3 September lalu, delapan karyawan Bank Permata mendapat vonis penjara masing-masing tiga tahun dan denda Rp 5 miliar atau diganti penjara tiga bulan. Mereka dianggap bersalah dalam kasus kredit macet PT Megah Jaya Prima Lestari (Megah Jaya) sebesar Rp 755,17 miliar.
Delapan karyawan yang dibui yakni Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, Dennis Dominanta, Tjong Chandra, Yessy Mariana, Henry Hardijaya, Liliana Zakaria, dan Ardi Sedaka.
Menurut majelis hakim yang dipimpin hakim ketua Florensani Kendenan, delapan orang ini dinilai bertanggung jawab atas kredit macet Megah Jaya. Hakim menilai mereka melanggar Pasal 49 ayat 2 huruf B Undang-undang No 8 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pasal tersebut mengatur anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank untuk memastikan ketaatan bank terhadap UU perbankan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Ancamannya hukuman penjara tiga hingga delapan tahun serta denda Rp 5 - 100 miliar.
Pasal ini kerap dijuluki sapu jagat karena dapat digunakan aparat hukum menjerat dewan direksi hingga pegawai bank sepanjang belum ditentukan secara khusus sebagai tindak pidana.
Didit menilai aparat hukum di tingkat kepolisian dan kejaksaan perlu memahami makna Pasal 49 ayat 2B UU Perbankan. Dalam kasus yang dia tangani kepolisian dan kejaksaan salah menerapkannya.
Didit mengatakan untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap pasal tersebut harus didahului oleh laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Kalaupun ada pelanggaran, maka OJK yang harus membina dan menegur, bukan masuk ranah pidana," kata dia.
Penggunaan pasal 49 ayat 2B juga menjerat puluhan mantan karyawan Bank Swadesi yang kini telah berganti nama menjadi Bank of India Indonesia. Perjalanan kasus ini berlarut-larut, dimulai pada 2008 di Bali, sempat dinyatakan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) pada 2014, dan kembali dibuka pada Mei 2020.
Sebanyak 21 mantan karyawan Bank Swadesi ke meja hijau, mulai dari karyawan level terendah yakni bagian administrasi, hingga direktur utama. Semuanya mendapat ancaman hukuman yang sama dalam pasal 49 ayat 2B UU Perbankan, yakni sekurang-kurangnya 3 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Kasus ini bermula dari Bank Swadesi memberikan fasilitas kredit Rp 10,5 miliar kepada Rita Kishore Kumar Pridhnani pada Maret 2008. Rita mendapat kredit dengan agunan berupa tanah seluas 1.520 meter persegi di daerah Seminyak, Bali. Debitur hanya sekali membayar cicilannya Rp 230 juta. Setelah memberikan peringatan kemudian bank melelang agunan dengan nilia Rp 6,3 miliar.
Namun, Rita keberatan karena menilai harga lelang jauh di bawah harga pasar. Kemudian dia menggugat direktur utama Bank Swadesi ketika itu, Ningsih Suciati dengan tudingan melakukan tindak pidana perbankan atas pelelangan agunan miliknya. Rita kalah di pengadilan dan kasusnya dihentikan kepolisian dengan menerbitkan surat penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3).
Rita tak berhenti, dia kemudian mengajukan praperadilan untuk menggugat penetapan SP3 tersebut dan dikabulkan. Namun, ketika perkara kembali dibuka, penyidikan di kepolisian malah fokus pada masalah yang sama sekali berbeda. “Pra-peradilannya itu hanya berada pada proses dan nilai lelang. Tapi ketika disidik kembali, kasusnya menjadi pemberian kredit yang bersifat administratif, tapi dikenakan pasal 49 ayat 2B,” kata kuasa hukum laryawan Bank Swadesi, Francisca.
Kriminalisasi Bankir Ancam Penyaluran Kredit Perbankan
Di persidangan kasus delapan karyawan Bank Permata, OJK memberikan kesaksian yang terang mengenai tak adanya pelanggaran oleh Permata dalam pencairan kredit kepada Megah Jaya. Temuan pelanggaran merupakan syarat penggunaan Pasal 49 ayat 2B.
"Penerapan pasal pelanggaran pada prinsip kehati-hatian haruslah terlebih dahulu ada surat pembinaan, serta audit investigasi, dan yang menentukan adalah OJK, bukan orang umum," kata Deputi Direktur Pengawasan Perbankan OJK Adief Razali yang memberikan kesaksian pada 30 Juni 2020, dikutip dari salinan putusan.
Oleh karena itu, pihak ketiga atau di luar OJK tidak bisa membuat laporan atas dugaan pelanggaran pasal 49 ayat 2B UU Perbankan. "Berdasarkan apa atau tahu dari mana ada pejabat Bank Permata yang melakukan pelanggaran pasal tersebut?" kata dia.
Adief menjelaskan dalam kasus pemberian kredit Megah Jaya, potensi pelanggarannya ditemukan indikasi double financing pembiayaan proyek yang serupa yang diajukan Megah Jaya pada Bank Mandiri dan BCA. Namun, tidak menjadi permasalahan hukum karena persoalan masuk kategori perkara administratif.
Perwakilan Bank Permata, Direktur Wholesale Banking Darwin Wibowo menyatakan kredit macet Megah Jaya telah ditangani secara bertahap. Pada Agustus 2017 kredit Megah Jaya sudah jatuh tempo dan masuk kategori kolektabilitas 2 dan nasabah meminta penundaan pembayaran.
Mendekati akhir tahun, Permata memasukkan kredit Megah Jaya ke kategori kolektabilitas 5 atau macet. Darwin yang ketika itu kepala divisi yang menangani kredit macet, Bank Permata telah memutuskan untuk menghapus buku kredit macet Megah Jaya. "Hapus buku sesuatu yang dapat dilakukan oleh bank," kata dia.
Pakar Hukum Perbankan Yunus Husein juga hadir memberikan keterangan ahli. Yunus Husein menjelaskan Pasal 49 ayat 2B merupakan ketentuan “administrative penal law” yakni ketentuan pidana yang mendukung ketentuan administratif yang ada dalam UU Perbankan.
Menurutnya UU Perbankan merupakan UU yang bersifat administratif. Ancaman hukuman pidana dalam Pasal 49 ayat 2B dalam rangka penegakkan hukum administratif tersebut oleh regulator dan pengawas. "Jika tidak efektif, barulah hukum pidana menjadi senjata pamungkas," kata dia.
Bila terjadi pelanggaran SOP, OJK perlu memberikan pembinaan (supervisory action) terlebih dulu untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi. "Bila tak ada perintah OJK berarti penggunaan Pasal 49 ayat 2B ini premature. Kenapa langsung dipidana. Kalau perintah sudah dipenuhi berarti sudah selesai, perbaikan sudah dilakukan."
Dia juga menekankan Pasal 49 ayat 2B ini ditujukan kepada pejabat level atas yang mempertanggungjawabkan ketaatan bank. "Pejabat bank yang mempunyai tanggung jawab yang berkaitan dengan usaha bank, bukan pegawai rendahan seperti kasus Permata dan Swadesi," kata dia.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002-2011 khawatir bila Pasal 49 ayat 2B tersebut digunakan secara tak tepat oleh aparat hukum. Saat ini perekonomian tengah menghadapi kontraksi, sehingga butuh dana perbankan untuk memutar kembali roda perekonomian.
“Saya khawatir dalam situasi pandemi banyak debitur adukan pegawai bank membuat kondisi bank kurang kondusif. Padahal negara perlu dibantu dengan pembiayaan bank yang menggunakan dana masyarakat,” ujarnya.
Yunus menganggap hal ini terjadi karena kesalahan penafsiran dari penyelidikan di kepolisian hingga kejaksaan saat penuntutan. "Penyidikan dimulai kepolisian, dibawa kejaksaan terima seperti itu sehingga sulit koreksi," kata dia.
Katadata berusaha mengkonfirmasi mengenai tudingan ini. Baik kepolisian dan kejaksaan belum memberikan konfirmasi.
Yunus mengatakan kesalahan ini harus dihentikan dengan peran OJK sebagai kuncinya. OJK harus berperan meluruskan penafsiran pasal ini. "Dalam perekonomian industri bank ibarat jantung yang menyalurkan likuiditas ke masyarakat,"
Di luar perdebatan aturan hukum, mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono malah mendorong bank untuk menyempurnakan SOP untuk menghindari pembobolan bank. SOP yang disempurnakan akan melindungi dana nasabah.
"Namanya bank punya uang, yang mau ngambil banyak, makanya harus dipagari dengan SOP yang baik, sistem cek dan ricek yang baik, portofolio yang baik,” ujarnya.