Pencabutan Subsidi Elpiji Tunggu Restu DPR
Rencana pemerintah mencabut subsidi elpiji tiga kilogram (kg) harus tertunda. Rencana ini sempat disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada DPR dalam nota keuangan 2016. Namun, hingga saat ini pemerintah belum mendapat restu dari DPR.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan awalnya pemerintah memang punya rencana mengurangi subsidi elpiji sebesar Rp 1.000 per kg. Namun hal tersebut belum bisa terlaksana tanpa adanya persetujuan dari DPR. “Subsidi ini harus lapor ke DPR komisi VII,” ujar saat berdiskusi dengan wartawan, Senin malam (11/4).
Selain belum mendapat restu DPR, pemerintah juga menganggap untuk saat ini pencabutan subsidi elpiji tidak perlu dilakukan. Alasannya harga elpiji di dunia sedang turun. Saat ini selisih harga elpiji bersubsidi dengan keekonomian hanya Rp 3.500 sampai Rp 4.000 per kg. (Baca: Pertamina Klaim Harga LPG Subsidi Paling Murah di Asia)
Menurut Wirat, pengurangan subsidi bisa membuat masyarakat panik. Apalagi elpiji bersubsidi merupakan andalan masyarakat menengah ke bawah untuk kebutuhan sehari-hari. “Sekarang masyarakat tidak perlu panik karena harga elpiji tidak akan berubah,” ujar dia.
Meski begitu, pemerintah menganggap subsidi elpiji harus dikurangi secara perlahan. Salah satu caranya adalah dengan mempercepat dan memperbanyak pembangunan jaringan gas kota. Perhitungan Kementerian ESDM, pembangunan jaringan gas kota hingga 10.000 sambungan rumah tangga saja sudah mampu mengurangi subsidi. Namun, Wirat tidak merinci berapa nilai subsidi yang bisa dikurangi jika jaringan gas kota 10.000 titik tersambung.
Jaringan gas rumah tangga ini nantinya tidak hanya dibangun di wilayah penghasil minyak dan gas bumi. Mengingat kebutuhan elpiji saat ini masih tinggi. Selama kuartal I 2016, konsumsi elpiji di seluruh Indonesia mencapai 1,2 juta ton. Sementara sampai dengan akhir tahun, konsumsi diperkirakan 7,8 juta ton. Dari angka tersebut, 6,6 juta ton merupakan elpiji tiga kilogram. (Baca: PGN Akan Bangun Pipa Gas 1.680 Kilometer)
Kebutuhan elpiji tersebut tidak hanya dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Hampir 60 persen kebutuhan elpiji harus diimpor. Kilang elpiji di Indonesia hanya memproduksi elpiji terbatas. Produksi dari fasilitas Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) Kilang Cilacap sebesar 1.066 ton per hari. Sementara kilang Mundu bisa memproduksi 100 ton per hari, dan Kilang TPPI Tuban 408 ton per hari.
Ada juga kilang Belanak yang dioperasikan oleh ConocoPhillips. Kilang ini bisa memproduksi 10.000 ton. Sayangnya kilang tersebut kemungkinan akan berhenti produksi elpiji akhir tahun ini. Alasannya produksi kilang ini dinilai sudah tidak ekonomis lagi. Meski begitu, Wiratmaja berharap operasi dari kilang ini tidak berhenti. Kalau produksi berhenti maka impor diperkirakan akan semakin meningkat.
Agar rencana penutupan kilang ini batal, pemerintah akan membantu meringankan beban kontraktor. Salah satunya dengan menyiapkan insentif yang dibutuhkan. Tujuannya agar produksi elpiji di kilang tersebut menjadi ekonomis. Apalagi harga minyak mentah dunia saat ini juga sedang tidak baik. (Baca: Kementerian ESDM Minta ConocoPhillips Tak Setop Kilang Belanak)
Selain itu, agar impor elpiji tidak melonjak, PT Pertamina (Persero) juga berminat untuk mengambilalih kilang Belanak. Saat ini Pertamina masih mengkaji nilai keekonomisan dari kilang tersebut. Tapi jika hasil kajian menunjukkan produksi dari Blok B South Natuna yang menjadi pasokan kilang terus menurun, Pertamina batal mengambilalih. “Kalau produksinya habis, untuk apa kami pakai,” kata Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang.