Kontraktor Migas Sulit Hindari Penyimpangan Cost Recovery
Asosiasi perusahaan minyak dan gas bumi atau Indonesian Petroleum Association (IPA) menilai penyimpangan cost recovery atau pengembalian biaya operasi, memang sulit dihindari. Penilaian tersebut terkait dengan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai cost recovery di industri migas yang tidak sesuai dengan aturan.
Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan, sebenarnya kontraktor migas sangat selektif dalam mengusulkan item biaya apa saja yang akan masuk dalam cost recovery kepada pemerintah. Apalagi, setiap proyek yang ingin diajukan dibahas terlebih dahulu. Karena itu, dia tidak percaya kalau penyimpangan cost recovery dilakukan oleh para kontraktor migas secara sengaja. “Kalau penggelembungan murni saya rasa sulit, mungkin hal-hal teknis di lapangan yang sulit dihindari,” katanya seusai konferensi pers tentang "The 40th IPA Convetion and Exhibition 2016" di Jakarta, Jumat (15/4).
(Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)
Di sisi lain, Marjolijn juga menganggap hasil audit BPK tersebut belum final. BPK akan melakukan beberapa pemeriksaan untuk menyelesaikan audit itu. Bahkan, jika dalam pemeriksaan nanti ada perbedaan pendapat mengenai boleh-tidaknya biaya yang masuk cost recovery, akan menanyakan terlebih dahulu kelengkapan izin dan data-datanya. "Jadi, jangan terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan."
Di tempat yang sama, Wakil Presiden IPA Ignatius Tenny Wibowo mengatakan, kontraktor akan berpikir dua kali untuk menyelewengkan cost recovery. Apalagi, BPK akan melakukan audit terhadap biaya tersebut setiap tahun. Jika ketahuan, dapat berdampak ke nama baik perusahaan. “Nama kami tercoreng. Pemain di sini sedikit, kalau macam-macam ya habis,” ujar dia. (Baca: Penyimpangan Cost Recovery, SKK Migas Bisa Potong Lifting Kontraktor)
Sekadar informasi, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II 2015 yang diserahkan BPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (12/4) lalu, mengungkapkan ada biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan dalam cost recovery pada tujuh wilayah kerja KKKS. Total nilainya sekitar Rp 4 triliun.
Perinciannya, South Natuna Sea “B” yang dioperatori ConocoPhillips Indonesia Inc. Ltd., Corridor oleh ConocoPhillips (Grissik) Ltd Rp 2,23 triliun. Disusul Mahakam oleh Total E &P Indonesie dan INPEX Corporation, Rp 936,29 miliar. Kemudian Eks Pertamina Block yang operatornya adalah PT Pertamina EP Rp 365,62 miliar, Blok Rokan oleh PT Chevron Pacific Indonesia. Rp 312,34 miliar, Natuna Sea A oleh Premier Oil Natuna Sea B.V. Rp 91,06 miliar dan South East Sumatra yang dioperatori CNOOC SES LTD, Rp 65,91 miliar.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bagian Humas SKK Migas Elan Biantoro mengatakan, jika memang temuan itu terbukti merugikan negara maka SKK Migas akan melakukan mekanisme overlifting. “Artinya jatah (lifting migas) kontraktor bisa kami potong, supaya imbang. Jadi tidak ada yang rugi,” kata dia kepada Katadata, Rabu (13/4). (Baca: Cost Recovery Migas Bermasalah, Pemerintah Kaji Sistem Baru Kontrak)
Agar kasus itu tidak terulang lagi di masa depan, pemerintah mempertimbangkan untuk merevisi sistem cost recovery tersebut.Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan sistem kontrak bagi hasil bisa diganti dengan skema baru. Ada beberapa opsi yang bisa dipilih, seperti pajak dan royalti, konsesi, kontrak jasa dan gross split sliding scale. Semua alternatif tersebut dimasukkan dalam draf Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang akan digodok bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).