Pemerataan Pembangunan Indonesia di Bawah Malaysia dan Thailand
Pemerintah tampaknya perlu bekerja keras untuk menjalankan pembangunan yang lebih merata. Di kawasan Asia Tenggara, pemerataan pembangunan Indonesia masih kalah dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Hal itu setidaknya terekam dari peringkat indeks pembangunan inklusif atau Inclusive Development Index (IDI) tahun 2017 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) pada awal pekan ini. Secara umum, WEF melihat negara-negara berkembang menunjukkan peningkatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakatnya.
"Negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, sudah memiliki penghasilan yang cukup untuk meningkatkan penghidupan," tulis WEF di dalam situs resminya. (Baca: Target Meleset, Menkeu Prediksi Ekonomi 2016 Tumbuh 5 Persen)
WEF membagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang. Dari 79 negara berkembang, Indonesia menempati peringkat ke-22 indeks pemerataan pembangunan. Peringkatnya masih di bawah Thailand dan Malaysia, yang masing-masing menempati posisi 12 dan 16.
Namun, pemerataan pembangunan di Indonesia masih lebih baik dibandingkan Vitenam yang di peringkat 25, maupun Filipina dan Kamboja yang berada di posisi 40 dan 43. Jika mengacu kepada skor indeks Indonesia yang sebesar 4,29, sebenarnya hanya berselisih 10 poin dengan Malaysia yang mndapatkan skor 4,39.
Penghitungan indeks pembangunan inklusif tersebut berdasarkan tiga pilar, yaitu pertumbuhan indikator makroekonomi; indikator inklusi atau tingkat kesejahteraan dan penghasilan; dan kondisi keuangan masyarakat.
(Baca: Sri Mulyani Targetkan Kemiskinan Turun di Bawah 10 Persen)
Secara umum, komponen indikator pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih pas-pasan. Hal tersebut terlihat dari pemerataan pendapatan per kapita dan upah buruh. Namun, untuk jaminan kesehatan masih di bawah rata-rata. Sedangkan tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia di atas rata-rata.
Tingkat pengangguran tergolong rendah secara keseluruhan. Namun, pengangguran kaum muda tercatat lebih dari 30 persen dan keterlibatan perempuan dalam lapangan pekerjaan masih rendah.
Di sisi lain, indikator inklusi yang menunjukkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia terlihat masih rendah. Hal itu terlihat dari ketimpangan pendapatan bersih yang mendapat skor 42,29 dan tingkat kemiskinan sebesar 36,44 persen. Bahkan, ketimpangan kekayaan di Indonesia tergolong besar dan menempati posisi ke-9 di antara kelompok negara berkembang.
World Economic Forum menilai sistem pendidikan di Indonesia sudah baik. Namun tetap diperlukan perbaikan dalam tingkat penerimaan siswa.
Meski begitu, indikator keuangan atau simpanan masyarakat di Indonesia cenderung lebih baik. Rasio simpanan mencapai 27,14 persen, yang menempati peringkat ke-6 di atas Thailand dan Malaysia. Karena itulah, Indonesia mampu meningkatkan pendapatan untuk membangun infrastruktur serta membuat sistem perpajakan yang lebih progresif.
Begitu pula dengan rasio utang swasta yang sekitar 27 persen. Alhasil, rasio ketergantungan masyarakat Indonesia tergolong rendah yaitu sebesar 49 persen.
(Baca: Darmin Prediksi Pertumbuhan Ekonomi 2016 di Bawah Target)
Saat menggelar sidang kabinet paripurna di awal tahun ini, Presiden Joko Widodo memang menegaskan akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan.
Pemerintah mengklaim selama dua tahun masa pemerintahan Jokowi-JK ini berhasil mengurangi tingkat ketimpangan di masyarakat, yang tercermin dari penurunan nisbah Gini (Gini ratio). Pada Maret 2016, nisbah gini sudah turun di bawah 0,4 dari posisi sebelumnya 0,402, yang berarti tingkat ketimpangan tergolong baik.
Namun, ekonom Faisal Basri menganggap rasio gini yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut tidak mengukur tingkat ketimpangan pendapatan (income inequality) maupun ketimpangan kekayaan (wealth inequality). BPS menghitung rasio gini hanya berdasarkan data pengeluaran yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).
Menurut Faisal, ketimpangan pengeluaran sudah tentu lebih rendah dibandingkan ketimpangan pendapatan maupun ketimpangan kekayaan. Sebab, perbedaan konsumsi orang terkaya dibandingkan konsumsi orang termiskin cenderung jauh lebih kecil dibandingkan perbedaan pendapatan dan kekayaannya di antara mereka.
(Kolom Faisal Basri: Mendeteksi Akar Ekonomi dari Radikalisme dan Gejolak Sosial)
Perbedaan sangat mencolok antara data pengeluaran dan kekayaan bisa dilihat dari data distribusi pengeluaran di antara kelompok pendapatan atau orang kaya dan nonkaya. Berdasarkan data pengeluaran yang dirilis BPS, kelompok 20 persen terkaya menyumbang 47 persen pengeluaran, sedangkan kelompok 40 persen termiskin hanya 17 persen. Kontribusi kelompok miskin ini cenderung stagnan, bahkan menurun dalam enam tahun terakhir.
Bandingkan dengan data kekayaan yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse. Hanya satu persen orang terkaya di Indonesia yang menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Konsentrasi kekayaan pada 1 persen terkaya di Indonesia ini terburuk keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Jika dinaikkan menjadi 10 persen terkaya, penguasaan kekayaan nasional oleh kelompok ini mencapai 75,7 persen.
"Dengan melihat berbagai data mikro tersebut, kita harus lebih hati-hati menginterpretasikan data pengangguran dan kemiskinan yang justru menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi yang cenderung melemah sejak 2012 justru beriringan dengan penurunan pengangguran dan kemiskinan," Faisal, seperti dikutip dalam tulisan di blog resminya.