Ungkap Pelanggaran Freeport, Peradi Dukung Pemerintah ke Arbitrase
Para pengacara yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) mendukung pemerintah menghadapi PT Freeport Indonesia di arbitrase internasional. Selain menilai Freeport tidak menjalankan kewajiban di dalam kontrak, Ketua Dewan Pembina Peradi Otto Hasibuan mengaku mengantongi data pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
Dukungan kepada pemerintah itu disampaikan Peradi saat bertemu dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Alasannya, pemerintah konsisten terhadap kedaulatan hukum dan kedaulatan Sumber Daya Alam di Indonesia.
“Bahkan tadi Pak Jonan mengatakan bila perlu juga nanti jika sampai ke arbitrase maka akan melibatkan kami dan dibantu dengan Jaksa Agung untuk prosesnya,” kata dia usai pertemuan di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (27/2). (Baca: Negosiasi Freeport Alot, Pemerintah Kaji Pemberian Insentif)
Otto mengatakan, pemerintah tidak melanggar kontrak dengan Freeport karena mengubah peraturan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebab, dalam perjanjian KK Freeport yang diteken tahun 1991 silam, tepatnya Pasal 23 ayat 2, terdapat klausul agar pemegang kontrak mengikuti segala peraturan pemerintah dari waktu ke waktu.
Klausul tersebut akan sangat menguntungkan Indonesia ketika berhadapan dengan Freeport di arbitrase. Apalagi dalam Undang-undang dasar yang terkait Sumber Daya Alam (SDA), bumi dan air dikuasai negara. “Jadi kalau ada peraturan yang dibuat pemerintah, dia harus ikut.,'' kata Otto.
Sebaliknya, Freeport sebenarnya juga tidak melakukan kewajiban yang ada di dalam kontrak. Salah satunya mengenai pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter). Perusahaan asal Amerika ini belum merampungkan pembangunan smelter. (Baca: Mengurai Kisruh Freeport, Pemerintah Tegas atau Berkorban?)
Saat ini pembangunan smelter di Gresik baru 40 persen. Menurut Otto, secara hukum, kalau tidak memenuhi kewajibannya berarti telah melakukan pelanggaran kontrak. “Dia kan wanprestasi. Kalau dia lebih dulu melakukan wanprestasi, otomatis dia tidak bisa lagi menuntut prestasinya,” ujar dia.
Selain itu, Otto mengaku mengantongi data pelanggaran lingkungan yang dilakukan Freeport Indonesia. Pelanggaran ini nantinya bisa masuk juga dalam ranah pidana. Untuk memperkuat data pelanggaran itu, tim Peradi terjun langsung ke lapangan.
Tidak hanya itu, menurut Otto juga menemukan kalau pegawai PT Freeport Indonesia hanya menggaji karyawannya sebesar upah minimum regional (UMR). Dari 12.000 pegawai Freeport, pegawai lokal hanya 4.000 dan paling banyak di level paling bawah. Artinya sebagian dana pergi ke luar negeri uangnya. “Tidak akan mendapatkan kemakmuran juga bagi rakyat Papua,” kata dia. (Baca: Menaker Minta Freeport Tak PHK Pekerja untuk Tekan Pemerintah)
Mengenai ketentuan divestasi 51 persen juga menurut Otto sangat wajar. Apalagi Freeport sudah berada di Indonesia puluhan tahun. Ia juga yakin pemerintah akan sanggup memiliki saham Freeport yang diperkirakan hanya Rp40 triliun.