PT Freeport Indonesia mempersoalkan peraturan baru yang mewajibkan perusahaan tambang mengubah Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pakar hukum Hikmahanto Juwana menilai peraturan itu justru menunjukkan pemerintah sudah berkorban untuk membantu Freeport agar tetap bisa mengekspor mineral mentah meski belum membangun smelter.

Menurut Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ini, kegaduhan kontrak Freeport saat ini berpangkal dari Pasal 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). UU itu mengatur perusahaan tambang pemegang KK, termasuk Freeport, wajib melakukan pemurnian di dalam negeri. Artinya, perusahaan dilarang mengekspor mineral mentah (konsentrat).

Advertisement

Kewajiban melakukan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter itu sudah jatuh tempo tahun 2014 lalu. Namun, Freeport dan beberapa pemegang KK lainnya meminta perpanjangan waktu karena belum siap membangun smelter.

(Baca: Jokowi Akan Bersikap kalau Freeport Sulit Diajak Berunding)

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya meluluskan permintaan tersebut. Melalui Peraturan Menteri ESDM No. 1 tahun 2014 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2014, perusahaan diberikan tambahan waktu membangun smelter hingga 2017. Jadi, pasca 12 Januari 2017, perusahaan tidak boleh lagi mengekspor konsentrat.

"Akhirnya dikasih perpanjangan tiga tahun untuk tetap bisa ekspor dengan catatan harus bayar bea keluar," kata Hikmahanto kepada Katadata, Kamis (23/2).

Meski begitu, hingga tenggat waktu tersebut berlalu 12 Januari lalu, Freeport belum membangun smelter. Alasannya, perusahaan asal Amerika Serikat ini meminta kepastian perpanjangan kontrak setelah 2021 agar investasi besarnya membangun smelter tidak mubazir.

Permintaan kepastian perpanjangan kontrak inilah yang selalu didesakkan Freeport dalam dua tahun terakhir. Namun, pemerintah tentu tidak bisa meluluskan permintaan tersebut.

Alasannya, Peraturan Pemerintah Nomor 77/2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan, ‎pengajuan perpanjangan KK paling cepat dua tahun sebelum kontrak berakhir. Artinya, Freeport paling cepat bisa mengajukan perpanjangan kontrak tahun 2019.

Jalan Berliku Kontrak Freeport

Pada titik inilah, menurut Hikmahanto, posisi pemerintah dilematis dan tidak menguntungkan. Jika ingin konsekuen menjalankan Pasal 170 dalam UU No. 4/2009  maka akan ada kerugian karena banyak perusahaan tambang tidak bisa lagi mengekspor dan kegiatan operasionalnya terhenti. Alhasil, pemerintah juga tak memperoleh penerimaan.

Sebaliknya, kalau Pasal 170 itu tidak dijalankan, pemerintah akan melanggar UU. “Pemerintah dianggap oleh rakyatnya melanggar UU Minerba yang notabene bisa saja di-impeach (dilengserkan),” katanya. (Baca: Freeport Setop Ekspor, Potensi Rugi Negara Rp 100 Miliar Sebulan)

Demi keluar dari jepitan masalah tersebut, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang berlaku satu hari menjelang berakhirnya masa izin ekspor pada 12 Januari lalu. Aturan ini mewajibkan perusahaan pemegang KK mengubah status kontraknya menjadi IUPK jika ingin mengekspor konsentrat. Kesempatan ekspor ini diberikan selama lima tahun hingga pembangunan smelter rampung.

Menurut Hikmahanto, PP anyar itu merupakan solusi pemerintah yang memberikan alternatif kepada pemegang KK. Perusahaan bisa tetap berpegang pada KK asalkan tidak melanggar Pasal 170 UU Minerba alias tidak dapat mengekspor hasil tambangnya selama belum membangun smelter. 

Sebaliknya, kalau mau tetap mengekspor maka perusahaan harus mengubah KK menjadi IUPK. Klausul IUPK ini juga telah tercantum dalam Pasal 102 dan 103 UU Minerba. Pasal itu memuat keharusan melakukan hilirisasi, namun tidak menyebutkan ketentuan waktu harus melakukan pemurnian 100 persen di dalam negeri. “Kalau melihat itu kan sebenarnya pemerintah sudah berbaik hati memberi solusi bagi pemegang KK,” ujar Hikmahanto.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak diskriminatif dengan memaksa semua pemegang KK mengubah kontraknya menjadi IUPK. Buktinya, dia mencontohkan PT Vale Indonesia yang tetap memegang KK namun telah membangun smelter.

Contoh berbeda adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara. Perusahaan tambang yang semula bernama PT Newmont Nusa Tenggara ini baru saja mengubah KK dan mengantongi IUPK. Alhasil, sejak pertengahan Februari ini, perusahaan milik Grup Medco tersebut sudah bisa mengekspor konsentrat meski belum membangun smelter.

040614-Freeport-Grafik2.jpg

Sikap keras malah ditunjukkan Freeport. Manajemen Freeport berdalih siap mengubah KK menjadi IUPK asalkan tetap memperoleh hak-hak yang sama seperti diatur dalam Kontrak Karya. Sebab, KK dinilai memberikan jaminan stabilitas investasi dengan kepastian hukum dan fiskal yang tetap. Hal ini sejalan dengan rencana investasi jangka panjang Freeport untuk membangun smelter dan mengembangkan tambang bawah tanah.

(Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)

Kewajiban fiskal yang harus ditanggung pemegang KK terbatas pada royalti, pajak penghasilan badan, iuran tetap, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan pajak daerah. Adapun, pemegang IUPK, selain menanggung lima poin di atas, juga perlu membayar pajak pertambahan nilai (PPN), retribusi daerah, dan pungutan lain. Keberatan lain Freeport adalah kewajiban divestasi 51 persen saham setelah lima tahun.

President dan CEO Freeport-McMoRan Inc. Richard C. Adkerson menilai pemerintah telah melanggar dan mengubah kontrak secara sepihak melalui penerbitan PP No. 1/2017 tersebut. Padahal, suatu kontrak merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang berkontrak tersebut dan tidak dapat diubah atau diakhiri secara sepihak, meskipun berdasarkan hukum dan peraturan perundangan yang diterbitkan kemudian.

Pada 17 Januari lalu, Freeport Indonesia telah menyampaikan kepada Kementerian ESDM mengenai tindakan-tindakan wanprestasi dan pelanggaran Kontrak Karya oleh Pemerintah Indonesia. Freeport memberikan tenggang waktu selama 120 hari kepada pemerintah untuk mencapai kesepakatan. Hal ini sesuai dengan aturan penyelesaian sengketa yang ada dalam Kontrak Karya.

Halaman:
Reporter: Anggita Rezki Amelia
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement