Terpengaruh NPL, Penerbitan Obligasi Korporasi Melonjak 62 Persen
Penerbitan obligasi (surat utang) korporasi melonjak di tengah ketatnya penyaluran kredit dan tingginya bunga bank. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, total penerbitan obligasi korporasi sepanjang Januari hingga pekan ketiga Maret mencapai Rp 20,92 triliun. Jumlah tersebut melonjak 61,91 persen dibanding periode sama tahun lalu.
Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, obligasi memang jadi alternatif pendanaan bagi pelaku usaha yang membutuhkan dana cepat. Pasalnya, tidak mudah mendapatkan kredit bank saat ini. Bank makin selektif dalam menyalurkan kredit seiring dengan meningkatnya tekanan kredit macet (Non Performing Loan/NPL).
“Kalau NPL naik dia (bank) harus tambah provisi, jadi dia (bank) mengurangi penyaluran kredit, jadi lebih detail (persetujuan kreditnya). Bagi perusahaan yang butuh (dana) cepat, dia terbitkan obligasi,” kata Lana kepada Katadata, akhir pekan lalu.
Jenis Obligasi | Pekan III Maret 2016 | Pekan III Maret 2017 | Perubahan (%) |
Obligasi Korporasi | Rp 12,92 triliun | Rp 20,53 triliun | 58,90 |
Sukuk Korporasi | Rp 0 | Rp 0,39 triliun | 100 |
Total | Rp 12,92 triliun | Rp 20,92 triliun | 61,91 |
Sumber: Data Statistik Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Prediksi Lana, tren peningkatan penerbitan obligasi akan berlanjut lantaran NPL masih akan mengganggu arus kas (cash flow) bank hingga akhir tahun nanti. Dalam kondisi likuiditas ketat, bank bakal memilih untuk menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang dianggap menguntungkan dan risikonya terkendali. (Baca juga: Ekonomi Masih Lesu, Rasio Kredit Seret Naik Menembus 3 Persen)
“Jadi, fokus (penyaluran kredit) bank enggak cocok dengan korporasi. (Korporasi) Lagi mau ekspor, tapi bukan sektor yang dituju bank. Mau enggak mau (terbitkan) obligasi,” ucapnya. Ia menyebut, kemungkinan bank masih mengurangi kredit ke sektor manufaktur dan sektor-sektor yang berorientasi ekspor.
Di sisi lain, Lana mengatakan, obligasi juga jadi pilihan pendanaan korporasi lantaran bunganya lebih murah dibanding bunga bank. Bila bunga bank bisa mencapai 10-11 persen, obligasi masih bisa lebih murah 0,25 persen atau di kisaran 9 persenan.
Meningkatnya penerbitan obligasi korporasi dinilai Lana sebagai hal positif. Dengan begitu, pasar pembiayaan menjadi lebih berkembang dan tidak bergantung pada bank. Selain itu, bisa memicu persaingan bunga. “Bunga bank bisa turun,” ujarnya. (Baca juga: Surat Utang Diborong, Indonesia Banjir Dana Asing Rp 79,1 Triliun)
Di sisi lain, Kepala Riset dan Strategis Bahana Sekuritas Harry Su mengatakan selain biaya bunganya lebih murah, pelaku usaha kian tertarik menerbitkan obligasi lantaran penerbitannya tidak membutuhkan jaminan (kolateral) dan prosesnya lebih mudah. “Anda hanya perlu memiliki peringkat dari Fitch atau Pefindo (untuk bisa menerbitkan obligasi),” ucapnya.
Meski begitu, Analis First Asia Capital David Sutyanto mengatakan masih ada kendala dalam penerbitan obligasi yaitu terbatasnya pemilik dana yang mau menempatkan dananya dalam obligasi korporasi. “Saat ini sebagian besar dana masih parkir di bank, bukan pasar modal. Yang punya uang lebih suka parkir di bank,” ujarnya. (Baca juga: Tax Amnesty Usai, Dana Repatriasi ke Pasar Modal Tak Sampai 1 Persen)
Tapi, ia menambahkan, pemilik dana tentu punya hitung-hitungan. Pemilik dana diyakininya bakal memborong obligasi korporasi bila rating-nya bagus sehingga risiko gagal bayarnya rendah. “Kalau risiko obligasi lebih rendah dalam hal ini rating-nya bagus-bagus ya dana pasti akan masuk ke bonds, enggak parkir di bank,” ucapnya.