Pertamina Kaji Usulan Jokowi Ubah Standar Akuntansi Laporan Keuangan
PT Pertamina (Persero) belum memutuskan mengenai perubahan standar akuntansi keuangan yang selama ini dipakainya. Padahal hal itu merupakan usulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meringankan keuangan perusahaan dalam menggarap proyek kilang minyak.
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Rachmad Hardadi mengatakan masih mempelajari detail dampak dari perubahan sistem tersebut. Adapun saat ini perusahaannya menggunakan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan Nomor 8 (ISAK 8). “Kami lihat posibilities-nya," kata dia kepada Katadata, Kamis (21/6).
(Baca: Dana Terbatas, Pertamina Jadwal Ulang Proyek Kilang)
Pertamina memang sedang mengalami kendala keuangan dalam menggarap proyek kilang minyak. Salah satu penyebabnya adalah kewajiban membeli seluruh produk hasil olahan kilang.
Jika perusahaan pelat merah itu membeli seluruh produk hasil olahan kilang minyak, maka beban utang yang dimiliki mitranya juga akan tercatat dalam laporan keuangan. Ini tentu akan menjadi permasalahan ketika mencari sumber pendanaan.
Alhasil Pertamina meminta mitranya, seperti Saudi Aramco di Kilang Cilacap dan Rosneft di Kilang Tuban untuk ikut menyerap produk hasil olahan kilang. Selain itu juga perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki negara ini juga berencana mengatur ulang jadwal kilang.
Kendala Pertamina itu sampai juga ke telinga pemerintah. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar akhirnya menyampaikan hal tersebut kepada Presiden Jokowi. Hasilnya, Presiden menyarankan agar Pertamina mengubah sistem akuntansi yang selama ini mereka pakai.
(Baca: Jokowi Minta Pertamina Ubah Standar Akuntansi Agar Proyek Kilang Mulus)
Menurut Arcandra, apa yang dialami PLN dan Pertamina memiliki persamaan. Ketika PLN menerapkan ISAK 8 sebagai standar akuntansinya, semua utang dari kontraktor yang berkontrak dengannya ikut terhitung. Alhasil, utang tersebut membengkak.
Namun, jika tidak memakai ISAK 8, Pertamina akan terbebas dari kewajiban mencatat seluruh utang mitranya. Dengan begitu, rasio utang Pertamina tak bertambah besar sehingga mudah mencari sumber pendanaan baru.
(Baca: Dana Minim, Pertamina Minta Pemerintah Garansi Proyek Kilang)
Cara ini dianggap lebih efektif dibandingkan harus mengurangi porsi kepemilikannya di proyek kilang. "Mau share-nya berkurang atau tidak, kalau offtake-nya 100 persen Pertamina, yang menanggung utangnya mereka," ujar dia.