Sektor Energi Terbarukan Harus Diprioritaskan
Inisiatif pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air berjalan lambat. Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan tingkat bauran energi terbarukan tak sampai 2 persen. Masih melimpahnya ketersediaan batu bara dan rendahnya harga minyak membuat konsumsi bahan bakar fosil masih jauh lebih besar dibanding penggunaan EBT. Tingginya investasi dan biaya produksi untuk menghasilkan energi terbarukan juga menjadi penghambat utama.
Lesunya iklim investasi di sektor energi terbarukan menjadi tantangan bagi pengembangan energi terbarukan. Peraturan yang cepat berubah, rumitnya proses perizinan, dan panjangnya birokrasi membuat investor enggan menanamkan modal di sektor ini. “Ini menyebabkan ketidakpastian,” ujar Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
Oleh sebab itu, METI mendorong pemerintah untuk terus berkomitmen mendukung pengembangan energi terbarukan karena sudah menjadi amanat undang-undang. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi, METI bersama pemerintah dan para pemangku kepentingan kembali menggelar Konferensi dan Ekshibisi EBTKE atau EBTKE ConEx. Berikut petikan wawancara Tim Infomark Katadata dengan Surya Darma di Jakarta pada Jumat, 11 Agustus 2017 lalu.
Bagaimana komposisi pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional saat ini?
Selama tiga tahun terakhir, pertumbuhan energi terbarukan dalam bauran energi tidak mencapai 2 persen. Pada 2014, pemanfaatannya masih 6 persen. Sesuai Peraturan Pemerintah No. 79/2014 Tentang Kebijakan Energi Nasional, bauran energi terbarukan ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.
Anda optimistis target tersebut bisa dicapai?
Targetnya pada 2025, masih ada waktu sembilan tahun lagi. Artinya, setiap tahun harus ada kenaikan 2 persen bauran energi terbarukan. Jika mau tercapai, harus ada upaya serius yang dilakukan oleh pemerintah.
Upaya apa saja yang perlu dilakukan?
Di sektor kelistrikan, misalnya, pemerintah perlu menggandeng pihak lain atau investor untuk membangun pembangkit. Maka, perlu ada kebijakan yang membuat investor tertarik dan mau datang ke Indonesia. Harus ada jaminan kepastian bahwa modal yang mereka tanamkan bisa kembali. (Lihat : PLN Beli Listrik 291 MW dari Pembangkit Energi Baru Terbarukan)
Jaminan kepastian itu bukankah sudah tercantum dalam regulasi, seperti peraturan menteri?
Memang banyak peraturan menteri yang sudah dikeluarkan, hampir tiap tahun. Tahun lalu juga ada peraturan yang dikeluarkan, lalu diubah demi menarik investasi dan memberi jaminan pengembalian.
Selain kepastian, faktor apa yang perlu diperhatikan?
Kemudahan-kemudahan yang diperoleh juga menjadi pertimbangan. Seperti proses perizinan, apakah berlarut-larut atau tidak. Lalu birokrasi. Birokrasi yang panjang bisa menimbulkan ketidak transparanan karena harus bolak-balik mengurus macam-macam. Kondisi ini (rumitnya perizinan dan panjangnya birokrasi) bisa berakibat pada tidak adanya kepastian bisnis.
Bagaimana caranya agar investor di sektor energi terbarukan menjadi nyaman?
Sektor energi terbarukan perlu mendapat perlakuan khusus. Di dalam UU 30/2007 jelas disebutkan bahwa energi terbarukan diprioritaskan atau urutan pertama. (Baca juga : Demi Investasi, Kementerian ESDM Revisi 3 Aturan Energi Terbarukan)
Bicara prioritas, pemerintah menyebut tentang harga energi yang murah. Ini sepertinya merujuk kepada batu bara, bukan energi terbarukan yang relatif lebih mahal?
Kalau itu yang menjadi pertimbangan, seharusnya bunyi kalimatnya dalam undang-undang adalah ‘penggunaan energi diprioritaskan harga termurah’. Bila tidak ada yang murah, baru beralih ke energi yang harganya lebih tinggi. Tapi, bunyi kalimat di dalam undang-undangnya tidak demikian.
Apakah energi terbarukan bisa bersaing dengan batu bara?
Masing-masing energi sudah ada porsinya. Sesuaikan saja porsinya masing-masing dan jangan ambil porsi energi terbarukan. Jangan ada prinsip kalau mahal maka ambil (energi) yang paling murah. Sebab itu sama artinya tidak memperhatikan alokasi porsi pada bauran energi nasional.
Hari ini batu bara bisa murah, tapi besok kita tidak tahu. Kita tidak akan sempat lagi bila ketika harga energi fosil mahal, kita baru melirik energi terbarukan. Kita harus memikirkan jangka panjang, supaya bisa disiapkan semuanya.
METI bersama pemerintah dan stakeholder di sektor energi terbarukan akan menyelenggarakan acara EBTKE ConEx pada 13-15 September. Apa tujuan penyelenggaraan acara ini?
Event ini diharapkan dapat menjadi wadah mensosialisasikan perkembangan dan kemajuan selama satu tahun terakhir. Selain itu acara ini juga sebagai promosi pada dunia internasional bahwa dalam kondisi yang memang agak berat saat ini, kita tetap meyakinkan berbagai pihak bahwa energi terbarukan ini perlu intervensi atau keterlibatan semua pihak. Tidak bisa hanya dilepaskan business to business ke pasar begitu saja.
Apa agenda penting dalam ConEx?
Melalui event ini kami ingin berdiskusi, berbagi pengalaman dengan orang lain. Jadi kami undang para pelaku dari Eropa seperti Perancis, Denmark, Jerman. Dari Amerika Serikat juga datang, tak hanya itu beberapa kedutaan juga ingin berpartisipasi dalam acara ini. Kita bisa belajar dari mereka. Secara umum, akan ada konferensi, pameran, training, dan forum bisnis.
Apa tema penyelenggaraan acara tahun ini?
Selain solusi ketahanan energi, tema kita mendukung Paris Agreement. Oleh karena itu, penyelenggaraannya digabung dengan Bali Clean Energy Forum. Bali Clean Energy Forum ini sebenarnya forum bagi beberapa negara yang sepakat mengembangkan energi bersih, bukan hanya energi terbarukan. Acara ini berlangsung di Balai Kartini, dan diharapkan menarik perhatian publik.