KATADATA - Sejak awal tahun ini, mayoritas bursa saham di dunia terus terpuruk. Kondisi ini dipicu oleh kekhawatiran investor terhadap memburuknya perekonomian Cina, kebijakan bank sentral Amerika Serikat yang akan terus mengerek suku bunganya, dan rendahnya harga minyak dunia. Meski begitu, kondisi bursa saham di Indonesia masih lebih baik dengan mencatatkan penurunan terendah.
Pada Senin ini (11/1), indeks MSCI Asia Pasifik, yang mencerminkan sekitar 85 persen nilai kapitalisasi pasar seluruh bursa saham di kawasan Asia Pasifik, sudah melorot 2 persen dari akhir pekan lalu ke level 780. Sedangkan sejak awal tahun ini (year to date), indeks MSCI sudah tergerus 9,4 persen.
Penurunan indeks tersebut sejalan dengan melorotnya hampir semua bursa saham di kawasan Asia Pasifik. Hari ini, indeks Shanghai di bursa Cina sudah turun 2,5 persen. Kalau dihitung sejak awal 2016, indeks ini sudah turun 11 persen. Begitu pula dengan indeks Straits Times di bursa Singapura dan indeks Hang Seng di bursa Hong Kong yang masing-masing anjlok 2 persen dan 2,4 persen.
Sebelumnya, indeks Dow Jones di bursa Amerika Serikat (AS) turun 1 persen pada penutupan perdagangan Jumat akhir pekan lalu. Bloomberg mencatat, kondisi tersebut menyebabkan nilai kapitalisasi bursa saham di seluruh dunia tergerus sekitar US$ 2,5 triliun sejak awal tahun ini.
Pangkal masalahnya adalah meningkatnya kekhawatiran atas perekonomian Cina yang memburuk. Indikasinya adalah langkah otoritas bank sentral Cina (People's Bank of China /PBOC) melemahkan mata uang renminbi pada pekan lalu. Selain itu, tren penurunan harga minyak dunia dan peningkatan ketegangan geopolitik di sejumlah kawasan, seperti di Timur Tengah dan Semenanjung Korea.
“Kunci risikonya adalah Cina, dimana kekhawatiran terus berlanjut terhadap perlambatan ekonomi yang menyebabkan arus keluar modal (capital outflow), depresiasi nilai tukar dan penjualan portofolio,” kata Chief Economist Deutsche Bank Research untuk Asia, Taimur Baig, dalam catatan risetnya Jumat lalu, seperti dikutip CNBC, Senin (11/1). Sedangkan investor kawakan George Soros memperingatkan pasar finansial global menghadapi masalah serius akibat perlambatan ekonomi Cina. Bahkan, pria yang lekat dengan berbagai krisis finansial global dalam dua dekade terakhir, melihat kondisi saat ini mirip dengan krisis finansial tahun 2008.
(Baca: Soros Peringatkan Krisis 2008 Bisa Terulang Gara-Gara Cina)
Bursa Efek Indonesia (BEI) sebenarnya tak imun dari kondisi ekternal tersebut. Hingga sesi pertama perdagangan hari ini, indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok 1,67 persen. Jika dihitung sejak awal tahun ini, IHSG telah terpangfkas 2,5 persen.
Namun, penurunan IHSG paling kecil dibandingkan mayoritas bursa saham di kawasan Asia Pasifik pada tahun ini. Bandingkan dengan beberapa indeks saham, seperti indeks Nikkei di Jepang, indeks Straits Times dan indeks Hang Seng, yang sudah turun lebih 5 persen. Bahkan, indeks Shanghai telah anjlok di atas 10 persen. Padahal, tahun lalu, IHSG termasuk indeks bursa saham terburuk di Asia dengan mencatatkan penurunan 12 persen sepanjang 2015.
Kondisi IHSG yang lebih baik dibandingkan para sejawatnya di kawasan Asia Pasifik sejalan dengan minimnya aliran dana keluar investor asing pada tahun ini. Perusahaan sekuritas First Asia Caoital mencatat, penjualan bersih asing (net sell) di pasar saham sepanjang pekan pertama 2016 mencapai Rp 616 miliar. Bandingkan dengan perjalanan bursa Indonesia sepanjang tahun lalu yang menderita penjualan bersih asing sebesar Rp 22,6 triliun.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pernah mengatakan, masuknya dana asing (capital inflow) sepanjang 2015 hanya Rp 50 triliun. Jumlahnya lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya senilai Rp 205 triliun. Namun, aliran dana asing itu masuk ke portofolio surat utang yang masih menjanjikan keuntungan besar dari tingginya tingkat suku bunga di Indonesia.
(Baca: Dana Asing Kabur Rp 22,6 Triliun, IHSG Anjlok 12 Persen Selama 2015)
Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo mengatakan, ada dua faktor rendahnya net sell asing di awal tahun ini. Pertama, porsi asing di portofolio saham di dalam negeri tinggal sedikit. Kedua, adanya harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini lebih baik. Dasarnya adalah langkah cepat pemerintah meraih pinjaman di awal tahun ini untuk membiayai proyek-proyek infrastuktur.
Menurut dia, investor asing akan kembali masuk ke bursa saham Indonesia setelah rilis pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 menunjukan perbaikan. Momen lainnya ketika Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI rate. “Kalau pertumbuhan ekonomi bagus di kuartal I-2016 (asing akan kembali) atau kalau kuartal IV-2015 bagus, mungkin mereka (asing) balik masuk. Karena mereka harus menunggu sentimen,” kata Satrio kepada Katadata, Senin (11/1).
(Baca: Bank Dunia Peringatkan Ekonomi Negara Berkembang Hadapi Risiko Besar)
Sekadar informasi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,3 persen. Pekan lalu, Bank Dunia menggarisbawahi, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen tahun ini bisa tercapai kalau pemerintah bisa menjalankan delapan paket kebijakan ekonomi yang telah dirilis sejak September tahun lalu. Paket tersebut diharapkan bisa memacu investasi dan mengerek produktivitas ekonomi.
Kepala Riset KDB Daewoo Securities Taye Shim juga melihat, masalah utama kekhawatiran pasar di awal tahun ini adalah perlambatan ekonomi global. Bank Dunia kembali merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2016 menjadi 2,9 persen. Sebab, kekhawatiran perlambatan ekonomi lebih dalam, khususnya di negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market). “Melemahnya pertumbuhan ekonomi dan harga komoditas mempersempit ruang bagi pengambil kebijakan untuk merespons, terutama negara pengekspor komoditas.”