Button AI Summarize

DI antara 6,7 juta pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 mungkin tak banyak yang tahu bahwa nasib mereka tengah dipertaruhkan. “Kalau tahun ini (AJB Bumiputera) tidak diselamatkan, kemungkinan ditutup,” kata Adhi Massardi, pengelola statuter AJB bidang SDM, Umum dan Komunikasi, kepada Katadata, Jumat (25/11) lalu.

Kondisi keuangan perusahaan asuransi tertua di Indonesia ini memang sedang tak sehat. Untuk menyelamatkannya dari kelumpuhan, sebuah aksi korporasi sedang disiapkan. Skemanya antara lain melalui mekanisme rights issue alias penawaran saham baru yang terbilang rumit.

Advertisement

Aksi korporasi ini melibatkan emiten tekstil di bursa efek yang selama ini tak cukup aktif beroperasi, yakni PT Evergreen Invesco Tbk. Dari aksi korporasi ini, dana segar yang ditargetkan bisa dijaring tak tanggung-tanggung: Rp 30 triliun!

Dana jumbo ini dibutuhkan, menurut sumber Katadata, lantaran kondisi keuangan AJB Bumiputera sejatinya jauh dari tampilan di laporan keuangan yang disampaikannya ke publik. Berdasarkan laporan keuangan per akhir 2015, disebutkan bahwa perusahaan beraset Rp 28 triliun ini masih memiliki rasio Risk Based Capital (RBC) sebesar 256 persen.

Angka itu dua kali lipat lebih tinggi dari ketentuan minimal RBC yang dipersyaratkan, yakni 120 persen. Rasio ini mengukur tingkat solvabilitas atau kekuatan modal perusahaan asuransi dalam membayar klaim seluruh nasabahnya, termasuk risiko-risiko yang ditimbulkannya.

Kenyataannya, menurut sumber tadi, kondisi keuangan AJB Bumiputera saat ini sungguh mengkhawatirkan. Ia memerinci, total liabilitas AJB Bumiputera—termasuk klaim yang harus dibayarkan kepada para pemegang polis—kini mencapai Rp 29 triliun.

Sementara  asetnya hanya sekitar Rp 15 triliun, dengan aset likuid yang dimilikinya cuma Rp 6 triliun. Ini berarti, terdapat risiko kekurangan likuiditas yang sangat tinggi. Bolong ini menganga lebar dikarenakan terjadi penurunan nilai aset secara signifikan. Pangkal soalnya, terdapat aset reasuransi yang harus dikeluarkan dari pembukuan sebesar lebih dari Rp 12,5 triliun.

Sudah menjadi praktik umum, perusahaan asuransi membagi atau mengalihkan sebagian risiko atas kewajiban kepada para pemegang polisnya kepada perusahaan reasuransi. Dengan begitu, klaim nasabah ikut ditanggung perusahaan reasuransi. Namun, kini menjadi persoalan bagi AJB Bumiputera, ketika aset reasuransi ini harus dikeluarkan dari perhitungan.

Belum diketahui persis, apa penyebabnya. Entah karena tak ada lagi perusahaan reasuransi yang mau bermitra dengan AJB Bumiputera, atau ada yang tak beres dalam pencatatan aset ini alias “bodong”. Yang jelas, aset AJB Bumiputera langsung tergerus hebat. “Ini yang membuat RBC-nya bisa minus.”

Jika ini benar, maka jelas rapor keuangan AJB sudah merah menyala. Langkah penyelamatan memang perlu segera digelar.

Borok lama muncul kembali?

Persoalan keuangan AJB Bumiputera sesungguhnya bukan perkara baru. Setidaknya sejak 2013, OJK sudah mengawasi secara intens perusahaan asuransi ini. Pada akhir September 2013, Deputi Komisioner Pengawas I Industri Keuangan Nonbank OJK, Ngalim Sawega, bahkan terang-terangan menyebutkan bahwa RBC AJB Bumiputera di bawah ketentuan. “Antara 100-120 persen,” kata Ngalim ketika itu.

Dua kali surat peringatan dilayangkan kepada manajemen AJB Bumiputera gara-gara persoalan keuangan itu. Tapi, tak mudah memang menjaring penambahan modal baru. Apalagi, perusahaan asuransi yang berdiri sejak 1912 ini berbentuk mutual. Dengan pola ini, pemegang polis yang berjumlah lebih dari enam juta, juga merupakan pemegang saham, sehingga pengambilan keputusan tidaklah sederhana.

Bentuk mutual ini tak lepas dari sejarah panjang pendiriannya. Pelopor asuransi jiwa di Indonesia ini didirikan pada 12 Februari 1912 di Magelang, Jawa Tengah, oleh Mas Ngabehi Dwidjosewojo, Mas Karto Hadi Karto Soebroto dan Mas Adimidjojo dengan nama Onderlinge Levensverzekring Maatschappij PGHB (OLMij.PGHB) Boemi Poetra. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan para guru.

Baru pada 1966, namanya berganti menjadi AJB Bumiputera. Dalam perkembangannya kemudian, perusahaan ini tumbuh pesat, dan berhasil masuk dalam daftar 10 besar perusahaan asuransi di Indonesia. Jangkauannya pun sangat luas, khususnya di pedesaan. Tercatat AJB Bumiputera hingga kini memiliki 474 kantor cabang (termasuk syariah) dengan 29 kantor wilayah di seluruh Indonesia, yang diwakili oleh 11 Badan Perwakilan Anggota.

Sederet nama mentereng duduk di jajaran Komisaris dan BPA. Beberapa di antaranya, yaitu Sugiharto (mantan Menteri BUMN), Bacelius Ruru (mantan Ketua Bapepam), I Nyoman Tjager (mantan Komisaris Utama Bursa Efek Indonesia), Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara) dan Mardiasmo yang undur diri begitu ditunjuk menjadi Wakil Menteri Keuangan oleh Presiden Jokowi.

Melihat nama-nama sohor itu, juga aset dan jumlah nasabahnya yang tak kecil, serta sejarah panjang yang melingkupinya, jelas AJB Bumiputera punya posisi penting di Republik ini. Itu sebabnya, berbagai upaya penyelamatan terus dilakukan. Jajaran manajemen dibenahi atas supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Walhasil, AJB Bumiputera keluar dari pengawasan khusus OJK. Namun, belakangan BPA kembali membongkar susunan direksi dan komisaris pada Juli 2015. Dan pada 24 Oktober lalu, OJK malah mengambil alih AJB, mengganti direksi dan komisaris dengan pengelola statuter yang beranggotakan tujuh orang.

Rupa-rupanya, kondisi yang kembali genting tadi yang menjadi penyebab pengambilalihan manajemen ini. Sumber Katadata di internal perusahaan mengatakan, keuangan perusahaan tak akan mampu menutup kewajiban klaim yang semakin besar. Menjual aset untuk menutupi klaim pun bukan jalan keluar. Sebab, aset AJB Bumiputera cuma separuh dari liabilitas atau kewajibannya.

OJK kini dihadapkan pada pilihan sulit: membiarkan perusahaan asuransi ini kehabisan darah dan menutupnya, atau menyelamatkannya. Kalaupun diselamatkan, apakah mungkin pemerintah kembali menggelontorkan bailout atau dana talangan, seperti ketika menyelamatkan Bank Century pada 2008 lalu. Pilihan lainnya, melalui cara-cara lain yang tidak melibatkan uang negara.

Untuk opsi pertama, yaitu menutupnya, risiko yang dihadapi tidaklah kecil. Penutupan dikhawatirkan akan mengguncang sistem finansial dan memunculkan keributan, mengingat jumlah pemegang polis AJB Bumiputera yang mencapai 6,7 juta. Lagipula, di sektor asuransi tidak terdapat Lembaga Penjamin Simpanan seperti halnya di sektor perbankan, yang menjamin dana simpanan nasabah di bawah Rp 2 miliar.

Lalu, opsi langkah penyelamatan melalui mekanisme bailout yang melibatkan uang negara, tampaknya juga sulit ditempuh. Keributan bertahun-tahun pasca-penyelamatan Bank Century masih membayang hingga kini. Jajaran pemerintah bisa jadi tidak akan mau mengambil risiko lagi, tanpa mendapat restu dari DPR yang tentu sulit didapat dalam jangka pendek.

Di tengah kebuntuan itu, muncullah opsi ketiga, yakni upaya penyelamatan dan restrukturisasi perusahaan melalui mekanisme rights issue Evergreen di pasar modal. “Jalan keluarnya memang tidak banyak,” kata sumber tadi.

Rights Issue Evergreen

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement