Rencana rights issue Evergreen, membuat emiten yang sahamnya telah lama “tidur” di pasar modal ini, kini mulai mencuri perhatian para broker saham dan bankir investasi. Maklum, dalam aksi korporasi ini, perusahaan ini bakal menawarkan sekitar 94 miliar saham baru dengan target perolehan dana Rp 30 triliun.

Bila rencana right issue ini terealisasi, maka akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. Rekor tertinggi sementara ini masih dipegang oleh PT Bakrie & Brothers Tbk., yaitu senilai Rp 40 triliun pada 2008 silam.  

Yang juga mengundang gunjingan banyak pihak, dalam rights issue ini AJB Bumiputera akan bertindak sebagai standby buyer atau pembeli siaga, jika saham baru itu tidak laku dijual ke investor. Ini membuat banyak orang juga bertanya-tanya, bagaimana mungkin perusahaan yang tengah morat-marit keuangannya bisa bertindak sebagai pembeli siaga.

Di sinilah rupanya “kehebatan” para penasihat keuangan AJB Bumiputera dalam menyiapkan jalan berliku restrukturisasi sebagai upaya penyelamatan. Menurut informasi yang dihimpun Katadata, lembaga keuangan internasional BNP Paribas ikut di dalamnya. Namun kabarnya, Hendrik Tee lah yang menjadi perancang utamanya. 

Di kalangan dunia finansial dan restrukturisasi perusahaan, Hendrik Tee bukanlah nama asing. Bekas Chief Financial Officer Asia Pulp and Paper milik Sinar Mas Group ini dikenal amat lihai dalam urusan restrukturisasi keuangan perusahaan. Meskipun, akibat aksi “gali lubang tutup lubang” melalui penerbitan surat-surat utang yang dirancangnya itu, APP akhirnya terjerat utang raksasa US$ 13 miliar ke para kreditornya pasca krisis ekonomi 1998 silam.

Sayang, Hendrik tidak bersedia memberikan keterangan tentang kabar keterlibatannya dalam  restrukturisasi AJB Bumiputera. Ia langsung memutus sambungan telepon, setelah Katadata memperkenalkan diri. Pesan singkat yang dikirimkan pun tak dijawab.  

Ketika hal ini ditanyakan kepada Adhi, ia juga tak memberikan konfirmasi. Yang jelas, kata dia, skema penyelamatan sudah digodok sejak 2015 dengan melibatkan beberapa konsultan, yang kemudian digodok oleh tim dari OJK. “Kalau enggak masuk logika (tidak mungkin mendapat lampu hijau),” ujarnya.

Ide besarnya adalah melakukan langkah penyelamatan tanpa melibatkan uang negara. “Pemerintah dalam kondisi kesulitan keuangan. Jangan karena kesalahan manajemen, negara yang harus turun-tangan, itu enggak benar,” katanya. Karena itulah, dipilih opsi penggalangan dana di pasar modal melalui Evergreen. Itu pun setelah dilakukan observasi dan pengujian berkali-kali.

Bagaimana persisnya langkah ini bakal ditempuh? Prosesnya ternyata melalui sejumlah tahapan super rumit, yang sudah dijalankan sejak Juni lalu.

Di tahap awal, AJB Bumiputera mendirikan sebuah induk usaha baru bernama PT Bumiputera Sembilan Belas Dua Belas (B1912). Lantas, di bawah naungan perusahaan induk baru ini, dibentuk tiga unit usaha, yakni PT Bumiputera Investama Indonesia (BII), PT Bumiputera Properti Indonesia (BPI), dan PT Bumiputera Life Insurance (BLI).

Bumiputera rights

Di ketiga unit usaha inilah, unit-unit usaha lama AJB Bumiputera selanjutnya ditampung. BLI akan menjalankan bisnis asuransi jiwa. Sedangkan BPI akan menjalankan kegiatan usaha di bidang properti. Sementara itu, bisnis asuransi non-jiwa, sekuritas, multifinance, properti dan syariah di bawah naungan BII.

Dengan pemindahan itu, maka seluruh aset, hak tagih premi, agen asuransi jiwa AJB Bumiputera beralih ke BLI. Sebagai imbalannya, BLI memberikan komitmen pinjaman senilai Rp 23,5 triliun kepada AJB Bumiputera.

Transaksi serupa dilakukan oleh BPI yang mengambil alih tanah dan bangunan milik AJB Bumiputera, serta saham PT Wisma Bumiputera, PT Bumiputera Mitrasarana, dan PT Bumiputera Wisata. Sebagai konsekuensinya, BPI berutang Rp 6,5 triliun kepada AJB Bumiputera.

Kewajiban BLI dan BPI senilai total Rp 30 triliun itulah yang kemudian diambil alih oleh B1912 melalui penandatangan surat perjanjian pengakuan utang (promes) dengan AJB Bumiputera.

Tahapan selanjutnya, yaitu transaksi antara AJB Bumiputera dan PT Pacific Multi Industri (PMI), anak perusahaan  Evergreen. AJB Bumiputera dalam hal ini menjual seluruh sahamnya di B1912, yang membuat kepemilikannya sepenuhnya beralih ke PMI.

Langkah ini kemudian diikuti dengan pengambilalihan semua utang B1912 oleh Evergreen selaku induk PMI senilai Rp 30 triliun melalui perjanjian novasi. Dalam perjanjian itu, Evergreen berjanji akan melunasi utang selambat-lambatnya pada 31 Desember 2016 dengan cara penggalangan dana melalui rights issue.

Banyak dugaan, jika skema ini berhasil, maka nantinya Evergreen akan berganti nama menjadi B1912, sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia. Dengan begitu, AJB Bumiputera yang kini berbentuk mutual akan bertransformasi menjadi perusahaan publik yang sahamnya di pasar modal, tanpa perlu repot-repot melakukan penawaran saham perdana (IPO).

Dengan kata lain, Evergreen hanyalah menjadi perusahaan cangkang bagi AJB Bumiputera melakukan backdoor listing. “Ketika menyusun langkah restrukturisasi setahun lalu, saat itu memang dicari perusahaan yang tidak aktif di bursa untuk dijadikan perusahaan cangkang,” kata sumber yang terlibat dalam proses restrukturisasi ini.

Bumiputera

Kenapa cara melingkar itu ditempuh, Adhi Massardie menjelaskan bahwa ini dikarenakan AJB Bumiputera bukan berbentuk perseroan terbatas yang sudah melantai di bursa sehingga bisa leluasa menjaring dana investor. “Kami tidak bisa masuk ke pasar.” Itu sebabnya, “(Kami) bekerjasama dengan Evergreen.”

Berbagai pertanyaan masih menggantung di benak banyak orang tentang skema restrukturisasi ini. Salah satunya soal kecukupan dana Rp 30 triliun itu untuk bisa benar-benar menyehatkan kondisi keuangan AJB Bumiputera.

Ada yang menduga, dana sebesar ini hanya akan memperpanjang napas untuk sementara waktu. “Kemungkinan dana yang dibutuhkan jauh lebih besar, bisa mencapai Rp 50 triliun,” ujar seorang bankir investasi senior.

Pertanyaan lainnya, siapa saja investor yang bisa digandeng masuk dalam upaya bersama penyelamatan yang penuh risiko ini, berhubung mengandalkan AJB Bumiputera sebagai standby buyer, sangatlah tidak realistis. Besar kemungkinan mereka adalah lembaga-lembaga keuangan pengelola dana pensiun dan perusahaan asuransi milik negara, seperti PT Asabri, PT Taspen, Jiwasraya dan BPJS.

Adhi tak menampik hal ini. Ia bahkan mengatakan, Komisioner OJK Bidang Industri Keuangan Non-Bank Firdaus Djaelani telah meminta agar investor lokal diutamakan. Karena itu, komunikasi pun telah dilakukan ke Asabri dan Taspen. “Pak Firdaus mengawasi langsung, OJK all out betul.” Pengelola dan OJK ingin mempertahankan Bumiputera sebagai simbol asuransi nasional.

Meski begitu, tampaknya masih ada sejumlah aspek yang masih ditelaah oleh OJK, antara lain soal rencana penggunaan dana hasil rights issue dan pembeli siaganya. Itu sebabnya, izin belum juga dikeluarkan. “Semua masih dalam penelaahan,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida. Namun, ia menolak menjelaskan lebih jauh. “Saya no comment dulu.”

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement