Sederet nama mentereng duduk di jajaran Komisaris dan BPA. Beberapa di antaranya, yaitu Sugiharto (mantan Menteri BUMN), Bacelius Ruru (mantan Ketua Bapepam), I Nyoman Tjager (mantan Komisaris Utama Bursa Efek Indonesia), Rita Widyasari (Bupati Kutai Kartanegara) dan Mardiasmo yang undur diri begitu ditunjuk menjadi Wakil Menteri Keuangan oleh Presiden Jokowi.
Melihat nama-nama sohor itu, juga aset dan jumlah nasabahnya yang tak kecil, serta sejarah panjang yang melingkupinya, jelas AJB Bumiputera punya posisi penting di Republik ini. Itu sebabnya, berbagai upaya penyelamatan terus dilakukan. Jajaran manajemen dibenahi atas supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Walhasil, AJB Bumiputera keluar dari pengawasan khusus OJK. Namun, belakangan BPA kembali membongkar susunan direksi dan komisaris pada Juli 2015. Dan pada 24 Oktober lalu, OJK malah mengambil alih AJB, mengganti direksi dan komisaris dengan pengelola statuter yang beranggotakan tujuh orang.
Rupa-rupanya, kondisi yang kembali genting tadi yang menjadi penyebab pengambilalihan manajemen ini. Sumber Katadata di internal perusahaan mengatakan, keuangan perusahaan tak akan mampu menutup kewajiban klaim yang semakin besar. Menjual aset untuk menutupi klaim pun bukan jalan keluar. Sebab, aset AJB Bumiputera cuma separuh dari liabilitas atau kewajibannya.
OJK kini dihadapkan pada pilihan sulit: membiarkan perusahaan asuransi ini kehabisan darah dan menutupnya, atau menyelamatkannya. Kalaupun diselamatkan, apakah mungkin pemerintah kembali menggelontorkan bailout atau dana talangan, seperti ketika menyelamatkan Bank Century pada 2008 lalu. Pilihan lainnya, melalui cara-cara lain yang tidak melibatkan uang negara.
Untuk opsi pertama, yaitu menutupnya, risiko yang dihadapi tidaklah kecil. Penutupan dikhawatirkan akan mengguncang sistem finansial dan memunculkan keributan, mengingat jumlah pemegang polis AJB Bumiputera yang mencapai 6,7 juta. Lagipula, di sektor asuransi tidak terdapat Lembaga Penjamin Simpanan seperti halnya di sektor perbankan, yang menjamin dana simpanan nasabah di bawah Rp 2 miliar.
Lalu, opsi langkah penyelamatan melalui mekanisme bailout yang melibatkan uang negara, tampaknya juga sulit ditempuh. Keributan bertahun-tahun pasca-penyelamatan Bank Century masih membayang hingga kini. Jajaran pemerintah bisa jadi tidak akan mau mengambil risiko lagi, tanpa mendapat restu dari DPR yang tentu sulit didapat dalam jangka pendek.
Di tengah kebuntuan itu, muncullah opsi ketiga, yakni upaya penyelamatan dan restrukturisasi perusahaan melalui mekanisme rights issue Evergreen di pasar modal. “Jalan keluarnya memang tidak banyak,” kata sumber tadi.
Rights Issue Evergreen
Rencana rights issue Evergreen, membuat emiten yang sahamnya telah lama “tidur” di pasar modal ini, kini mulai mencuri perhatian para broker saham dan bankir investasi. Maklum, dalam aksi korporasi ini, perusahaan ini bakal menawarkan sekitar 94 miliar saham baru dengan target perolehan dana Rp 30 triliun.
Bila rencana right issue ini terealisasi, maka akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah pasar modal Indonesia. Rekor tertinggi sementara ini masih dipegang oleh PT Bakrie & Brothers Tbk., yaitu senilai Rp 40 triliun pada 2008 silam.
Yang juga mengundang gunjingan banyak pihak, dalam rights issue ini AJB Bumiputera akan bertindak sebagai standby buyer atau pembeli siaga, jika saham baru itu tidak laku dijual ke investor. Ini membuat banyak orang juga bertanya-tanya, bagaimana mungkin perusahaan yang tengah morat-marit keuangannya bisa bertindak sebagai pembeli siaga.
Di sinilah rupanya “kehebatan” para penasihat keuangan AJB Bumiputera dalam menyiapkan jalan berliku restrukturisasi sebagai upaya penyelamatan. Menurut informasi yang dihimpun Katadata, lembaga keuangan internasional BNP Paribas ikut di dalamnya. Namun kabarnya, Hendrik Tee lah yang menjadi perancang utamanya.
Di kalangan dunia finansial dan restrukturisasi perusahaan, Hendrik Tee bukanlah nama asing. Bekas Chief Financial Officer Asia Pulp and Paper milik Sinar Mas Group ini dikenal amat lihai dalam urusan restrukturisasi keuangan perusahaan. Meskipun, akibat aksi “gali lubang tutup lubang” melalui penerbitan surat-surat utang yang dirancangnya itu, APP akhirnya terjerat utang raksasa US$ 13 miliar ke para kreditornya pasca krisis ekonomi 1998 silam.
Sayang, Hendrik tidak bersedia memberikan keterangan tentang kabar keterlibatannya dalam restrukturisasi AJB Bumiputera. Ia langsung memutus sambungan telepon, setelah Katadata memperkenalkan diri. Pesan singkat yang dikirimkan pun tak dijawab.
Ketika hal ini ditanyakan kepada Adhi, ia juga tak memberikan konfirmasi. Yang jelas, kata dia, skema penyelamatan sudah digodok sejak 2015 dengan melibatkan beberapa konsultan, yang kemudian digodok oleh tim dari OJK. “Kalau enggak masuk logika (tidak mungkin mendapat lampu hijau),” ujarnya.
Ide besarnya adalah melakukan langkah penyelamatan tanpa melibatkan uang negara. “Pemerintah dalam kondisi kesulitan keuangan. Jangan karena kesalahan manajemen, negara yang harus turun-tangan, itu enggak benar,” katanya. Karena itulah, dipilih opsi penggalangan dana di pasar modal melalui Evergreen. Itu pun setelah dilakukan observasi dan pengujian berkali-kali.