- Layaknya kenaikan cukai rokok, penarikan cukai MBDK juga bertujuan untuk mengurangi beban kesehatan negara.
- Konsumsi minuman berpemanis yang meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir.
- Para pengusaha makanan dan minuman sangsi dengan efektivitas penerapan cukai.
Setelah tertunda bertahun-tahun, cukai atas produk minuman berpemanis dalam kemasan alias MBDK akan dipungut pada 2024. Saat ini pemerintah tengah mengkaji tata cara pelaksanaan hingga nilai pungutan cukai.
"Jadi mengenai skemanya, tarifnya belum ditetapkan. Nanti pemerintah akan membahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan menyiapkan Peraturan Pemerintah-nya," kata Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan Askolani dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat (11/8).
Cukai MBDK tersebut berbeda dengan cukai rokok karena tidak memiliki skema pita. Pengenaan cukai pada setiap minuman berpemanis dalam kemasan ditargetkan mulai pada awal 2024. Pemerintah saat ini tengah menyiapkan PP untuk memperkuat payung hukumnya.
Rencana penerapan cukai MBDK sebelumnya terungkap lewat dokumen Kerangka Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF). Dokumen ini merupakan dasar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024.
“Kebijakan teknis kepabeanan dan cukai 2024 diarahkan pada ekstensifikasi cukai melalui penambahan objek cukai baru dan realisasi pemungutan cukai atas produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan,” tulis laporan dalam dokumen KEM PPKF.
Wacana melakukan ekstensifikasi barang kena cukai sejatinya sudah mulai mencuat sejak perubahan Undang-Undang Cukai disahkan pada 2007. Berbagai jenis barang diusulkan untuk masuk kategorisasi barang kena cukai. Di antaranya kendaraan bermotor, minuman soda berpemanis, plastik, bahan bakar minyak, semen, dan sebagainya.
Kemudian usulan cukai atas minuman bersoda dan berpemanis kembali diusulkan pada 2008. Namun, dalam perjalanannya rencana itu timbul tenggelam. Kemenkeu pernah membuat kajian objek yang bisa dikenakan cukai. Salah satu kajiannya merekomendasikan minuman berpemanis.
Namun tak sejalan dengan Kemenkeu, Kementerian Kesehatan justru menganggap minuman berpemanis kurang membahayakan kesehatan, sehingga belum perlu dikenakan cukai.
Pada 2016, Komisi IX DPR RI, mendorong rencana Kementerian Keuangan dalam memasukkan minuman berpemanis ke dalam objek cukai mulai 2016. Tapi usulan ini lagi-lagi menguap ditelan waktu.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut mengusulkan cukai MBDK dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada 2019.
Mulanya pemerintah akan memberlakukan cukai MBDK pada 2022. Namun, Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan mempertimbangkan penundaan cukai hingga 2023.
Pada tahun ini, berlandaskan pada Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menargetkan penerimaan cukai dari produk plastik dan MBDK senilai Rp 4,06 triliun pada 2023.
Penerimaan negara dari cukai minuman bergula dalam kemasan dipatok sebesar Rp 3,08 triliun. Sedangkan pendapatan cukai produk plastik ditargetkan mencapai Rp 980 miliar. Hitungannya berdasarkan besaran cukai untuk teh kemasan sebesar Rp 1.500 per liter dan soda sebanyak Rp 2.500 per liter.
Meski telat, cukai MBDK akhirnya akan dipungut 2024. Layaknya kenaikan cukai rokok, penarikan cukai MBDK juga bertujuan untuk mengurangi beban kesehatan negara. Maka pungutan atas keduanya karib disebut sebagai “pajak dosa”—meski terminologi pajak dan cukai berbeda.
Masyarakat Indonesia Adiksi Gula
Akhir 2022 lalu, tepatnya pada tanggal 13 Desember, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO resmi merekomendasikan negara-negara anggota untuk menerapkan kebijakan fiskal terhadap minuman berpemanis. Setidaknya hingga sekarang ada 85 negara yang sudah menerapkan kebijakan serupa di wilayahnya.
Di Indonesia, sepanjang sejarah tercatat hanya 5 jenis barang yang pernah kena cukai. Kelimanya adalah minyak tanah, alkohol sulingan, bir, gula, dan tembakau.
Saat ini, cukai hanya berlaku untuk tiga kategori barang yaitu hasil tembakau, etil alkohol, dan Minuman Mengandung Etil Alkohol atau MMEA. Jumlah tersebut sangat sedikit dibanding negara lain yang sudah mengenakan cukai atas komoditi minuman berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak.
Namun, pemerintah masih dapat melakukan ekstensifikasi barang kena cukai karena terdapat ruang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.
Salah satu alasan pengenaan cukai adalah bentuk pengawasan dan pembatasan produk yang berdampak negatif. Misalnya, produk yang membahayakan kehidupan manusia dan atau merusak kesehatan. Cukai MBDK memenuhi karakteristik tersebut.
Lihat saja Data Kementerian Perindustrian yang menyebut industri minuman ringan di Indonesia berkembang hampir 300% dalam jangka waktu sepuluh tahun (2005-2014). Artinya setiap tahun terdapat kenaikan produksi sebesar 30%.
Di sisi lain, Riset Kesehatan Dasar alias Riskesdas menunjukkan persentase penduduk dengan obesitas meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun, dari semula 10,5% (2007) menjadi 21,8% (2018).
“Konsumsi MBDK berlebih terbukti berisiko meningkatkan kejadian obesitas, penyakit diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, beberapa jenis kanker dan gizi kurang,” ungkap Calista Segalita, Project Lead Food Policy Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam keterangan yang diterima Katadata.co.id, Jumat, (11/8).
CISDI merupakan organisasi non-profit yang mendorong kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah. Sejak dua tahun terakhir CISDI ikut berupaya menyampaikan pentingnya cukai minuman berpemanis lewat riset dan advokasi, diskusi terarah dengan pemangku kebijakan, kampanye publik, dan petisi yang didukung 16 ribu lebih tanda tangan.
Petisi juga sudah disampaikan kepada Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada November 2022.
“Pembatasan konsumsi MBDK, terutama melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik memang mendesak dilakukan,” kata Calista.
Rosyada dan Ardiansyah sempat menyusun Kajian Ekonomi Keuangan yang diterbitkan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (2017). Di dalamnya tertulis tingkat konsumsi MBDK di Indonesia dalam 20 tahun terakhir juga mengalami peningkatan hingga 15 kali lipat, dari semula sekitar 51 juta liter (1996) menjadi 780 juta liter (2014).
“Pada 1996 mayoritas konsumsi MBDK adalah jenis minuman berkarbonasi/mengandung CO2, sekitar 24 juta liter,” tulis laporan tersebut.
Namun tren ini berubah pada 2005. Jumlah konsumsi minuman ringan berpemanis mengalami kenaikan sangat signifikan, sebesar 105%. Sedangkan tren beralih dari minuman soda menjadi air teh dalam kemasan, dengan tingkat konsumsi hampir mencapai 110 juta liter.
Kecenderungan mengonsumsi teh kemasan ini terus berlanjut setidaknya hingga data 2014. Pada tahun tersebut konsumsi MBDK meningkat sekitar 71% dari 2015 (sekitar 9 tahun) dengan mayoritas konsumsi terhadap teh dalam kemasan sebesar 405 juta liter.
Ketergantungan masyarakat Indonesia pada konsumsi minuman manis kemasan membuat negara kita menempati posisi ketiga dalam daftar konsumsi MBDK terbanyak di Asia Tenggara pada 2020.
“Dengan menunda pengesahan cukai MBDK pada tahun ini, padahal sudah masuk dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2023, artinya pemerintah seolah abai soal fakta konsumsi minuman berpemanis yang meningkat drastis, mencapai 15 kali lipat dalam dua dekade terakhir,” tambah Calista.
Hitung-hitung Besaran Cukai MBDK
Maju mundur penerapan cukai MBDK salah satunya juga dipicu protes sebagian masyarakat dan pengusaha yang sangsi soal efektivitas penerapan cukai. Mereka meminta obesitas dan ragam penyakit kardiovaskular ditekan lewat kebijakan kesehatan, alih-alih fiskal.
“Sebetulnya kita yang harus mengubah budaya atau kebiasaan kita, karena mau diberikan cukai berapa pun kalau sudah biasa membuang sampah plastik sembarangan, atau mengonsumsi minuman manis, itu tidak akan berpengaruh,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman pada 2 Juli lalu.
Padahal implementasi cukai MBDK di 48 negara terbukti berhasil menurunkan tingkat konsumsi minuman manis. Meksiko, misalnya, mampu menurunkan jumlah pembelian minuman manis sebesar 12% per kapita per hari dengan penerapan cukai MBDK 9% dari harga produk.
Di kawasan Amerika, penerapan cukai MBDK juga diprediksi menurunkan konsumsi minuman manis sampai 24%. Sedangkan di Inggris, kebijakan ini berbuah pada penurunan konsumsi gula rumah tangga sebesar 10% per minggu.
Produsen minuman pun kemudian terdorong untuk melakukan formulasi ulang agar produknya lebih rendah gula sebanyak 29,5 gram dari jumlah sebelumnya.
Dari sisi kesehatan, studi pemodelan di Thailand juga menunjukkan cukai MBDK sebesar 20%-25%mampu menurunkan prevalensi obesitas sebesar 3,83%-4,9%.
Untuk Indonesia, Studi Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merekomendasikan tarif minimum cukai sebesar 20% dari harga produk. Besarannya bisa bervariasi tergantung komposisi pemanisnya—semakin tinggi kandungannya, cukai juga akan semakin besar.
“Jumlah tersebut dapat mengurangi permintaan masyarakat terhadap produk MBDK hingga 17,5% dan diestimasikan menambah pendapatan negara hingga Rp 3,6 triliun dalam setahun,” tulis studi yang mereka publikasikan.
Produk-produk yang dikenakan cukai MBDK menurut CISDI tak terkecuali semua minuman berpemanis dalam bentuk gula asli maupun tambahan pangan. Variannya berupa susu cair pabrik, susu kental manis, kopi instan, air teh kemasan, minuman bersoda/mengandung karbon dioksida, sari buah kemasan, minuman kesehatan, dan minuman berenergi.
“Hasil dari studi elastisitas harga menunjukkan bahwa permintaan pada beberapa jenis produk MBDK yang dianalisis cenderung berkurang ketika terjadi kenaikan harga.”
Kenaikan rata-rata harga MBDK sebesar 1% akan diikuti dengan penurunan permintaan produk MBDK rata-rata sebesar 1,09%.
Jika cukai dikenakan sebesar 20%, penurunan permintaan tertinggi terjadi pada kelompok produk minuman sari buah kemasan (18,64%), disusul kopi instan dan minuman teh kemasan (18,3%), susu kental manis (17,88%), dan susu cair pabrik (14,32%).
“Secara keseluruhan, kenaikan harga pada produk MBDK sebesar 20% berpotensi menurunkan konsumsi (permintaan) masyarakat rata-rata hingga 17,5%,” demikian ringkasan studi CISDI.
Persentase penurunan konsumsi MBDK paling tinggi ditunjukkan pada rumah tangga miskin, tinggal di daerah pedesaan, memiliki kepala rumah tangga dengan usia lebih tua dan berpendidikan lebih rendah.
Jadi, cukai bukan cuma menambah pendapatan negara, tapi terbukti berefek langsung dalam membatasi konsumsi dan menekan penyakit-penyakit mematikan akibat kelebihan gula.