Sejarah Pengadilan Pajak Indonesia, dari Era Kolonial hingga Reformasi

Image title
25 Oktober 2023, 10:20
Pengadilan Pajak
Dok. Sekretariat Pengadilan Pajak
Ilustrasi, suasana sidang di pengadilan pajak.

Dalam praktik perpajakan tak jarang timbul perbedaan interpretasi aturan antara wajib pajak dan otoritas perpajakan, yang tak jarang menimbulkan sengketa pajak.Oleh karena itu, pemerintah membentuk institusi peradilan yang secara khusus menangani sengketa pajak, yang dinamakan Pengadilan Pajak.

Lembaga peradilan bidang pajak ini lahir pada 12 April 2002 melalui Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Namun, bukan berarti sebelum Pengadilan Pajak ditetapkan pada 2002 silam Indonesia tidak memiliki lembaga/institusi yang menangani sengketa pajak.

Perjalanan lembaga yang secara khusus mengurus sengketa pajak di Indonesia tergolong panjang, yakni sejak era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Seperti apa sejarah pengadilan pajak di Indonesia? Simak ulasan singkat berikut ini.

Ilustrasi, ruangan persidangan pengadilan pajak.
Ilustrasi, ruangan persidangan pengadilan pajak. (Dok. Sekretariat Pengadilan Pajak)

Sejarah Pengadilan Pajak di Indonesia

Seperti telah disebutkan, kehadiran lembaga peradilan khusus di bidang perpajakan telah lama hadir di Indonesia, bahkan sejak era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Berikut ini penjelasan singkat mengenai beberapa lembaga yang secara khusus menangani sengketa pajak di Indonesia, hingga akhirnya terbentuk Pengadilan Pajak.

1. Dewan Urusan Pajak

Dewan Urusan Pajak (DUP) bisa dikatakan sebagai bentuk pengadilan pajak pertama di Indonesia. Dalam bahasa Belanda, insitusi ini bernama Raad van Belastingzaken, dan ditetapkan melalui Staatsblad 707/1915.

Institusi ini hanya berkedudukan di Batavia, yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Hindia Belanda. Pihak-pihak yang tergabung dalam institusi ini terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha dan para ahli perpajakan. DUP diketuai oleh Menteri Keuangan Hindia Belanda.

Pada 1927 pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan perubahan melalui Staatsblad 29/1927, dengan penambahan tata cara pengajuan banding atau Ordonantie tot Regeling van het Beroep in Belastingzaken. Selain itu, jabatan ketua tidak lagi berada di tangan Menteri Keuangan, melainkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda.

Saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, keberadaan lembaga ini tetap dipertahankan. Baru pada 1959, pemerintah Indonesia melakukan peninjauan kembali atas aturan dalam Staatsblad 29/1927.

2. Majelis Pertimbangan Pajak

Bentuk pengadilan pajak di Indonesia berikutnya, adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), yang dibentuk melalui peninjauan kembali atas Staatsblad 29/1927. Melalui hasil peninjauan tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 5 tahun 1959 tentang Pengubahan Regeling Van Het Beroep In Belastingzaken. Melalui UU 5/1959, dibentuklah MPP.

Mengutip www.ddtc.co.id, materi yang terdapat dalam UU 5/1959 sejatinya tidak jauh berbeda dibandingkan Staatsblad No.29/1927. Sebab, UU yang memunculkan MPP ini lebih banyak mengatur tentang istilah dan sebutan. Selain itu, ada penegasan bahwa MPP memiliki kedudukan sebagai pengadilan administratif.

Dengan terbentuknya majelis ini maka kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak dipegang oleh MPP. Majelis ini tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa pajak pusat, tetapi juga pajak daerah. Setelah terbentuknya MPP, perkara sengketa pajak yang sebelumnya menumpuk dapat diselesaikan.

Meski demikian, saat itu banyak pihak yang mengkritik penggunaan nama MPP. Sebab, nama ini dianggap menimbulkan kesalahan interpretasi terkait fungsinya. Interpretasi yang dimaksud ini adalah MPP hanya memberikan pertimbangan tanpa memutus perkara sengketa pajak. Padahal, dalam praktiknya MPP juga memiliki wewenang memutus sengketa pajak.

Meski suara kritik terkait nama terus menggaung, penggunaan nama MPP tetap digunakan selama 38 tahun sejak ditetapkan 1959. Baru pada 1997 pemerintah kembali melakukan peninjauan dan mengubah ketentuan mengenai institusi pengadilan pajak ini.

3. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak

Setelah berjalan selama 38 tahun, pemerintah akhirnya menilai bahwa MPP sudah tidak memenuhi kebutuhan penyelesaian sengketa pajak yang semakin kompleks. Oleh karena itu, dibentuklah suatu lembaga yang lebih modern, yang kemudian dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP), melalui UU Nomor 17 tahun 1997.

UU 17/1997 menegaskan kedudukan BPSP sebagai badan pengadilan pajak sesuai penjelasan Pasal 27 UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP).

BPSP mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak. Tugas dan wewenang tersebut berada di luar tugas dan wewenang Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Selain memeriksa dan memutus permasalahan sengketa pajak, BPSP juga berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepabeanan dan cukai. Masuknya urusan kepabeanan dan cukai dalam institusi peradilan pajak ini merupakan konsekuensi penetapan UU Kepabeanan dan UU Cukai, yang diundangkan pada 1995.

Anggota BPSP sebagai badan peradilan pajak berasal dari pemerintah, para ahli perpajakan, pengusaha, serta ahli di bidang kepabeanan dan cukai.

Meski merupakan institusi yang menangani sengketa pajak dan berkaitan erat dengan hukum, institusi ini tidak berpuncak pada Mahkamah Agung, namun berpuncak kepada Departemen Keuangan. Atas kedudukannya ini, banyak pihak yang mengkritik keberadaan BPSP.

Sebab, sebagai badan peradilan, secara yuridis segala bentuk putusan sengketa pajak yang diputus oleh BPSP, seharusnya diselesaikan oleh hakim, bukan oleh anggota dari badan administrasi tersebut.

Adanya konflik kewenangan dalam peradilan pajak melalui BPSP ini menimbulkan konsekuensi hukum. Bahwa, apabila ketentuan terkait BPSP tidak diubah, maka keputusan dari badan ini dapat dianggap sebagai  keputusan yang semu dan tidak mencerminkan suatu persidangan yang adil (fair trial). Sebab, tidak dilakukan oleh sesama badan peradilan pemerintahan.

Selain itu, muncul pula kritik bahwa keberadaan BPSP ini bertentangan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 juncto ketentuan Pasal 10 UU tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.

Aturan ini menyebutkan, bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut UU. Dari ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi peradilan di Indonesia hanya mengenal satu Mahkamah Agung.

Dimungkinkannya badan-badan lain di luar Mahkamah Agung untuk melakukan kekuasaan kehakiman harus ditata dengan UU, yang tetap harus merujuk UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.

Oleh karena kritik yang menyertai perjalanan BPSP, maka pemerintah melakukan peninjauan yang menghasilkan UU Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Ketentuan ini diundangkan pada 12 April 2002.

4. Pengadilan Pajak

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Pengadilan Pajak merupakan hasil dari peninjauan atas ketentuan terkait BPSP. Berbeda dengan lembaga sebelumnya, Pengadilan Pajak merupakan bentuk dari pengadilan khusus, yang berada di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Insitusi ini memiliki kedudukan, derajat, dan independensi yang sama dengan pengadilan lain yang setingkat. Karena kedudukannya yang sejajar dengan pengadilan lain, maka insitusi peradilan ini berpuncak pada Mahkamah Agung.

Mengutip www.ddtc.do.id, pembentukan pengadilan pajak mempunyai tiga pertimbangan penting. Pertama, meningkatkan jumlah wajib pajak yang diimbangi dengan pemahaman atas perpajakan. Selain itu, otoritas pajak juga semakin sadar akan good governance.

Kedua, dibutuhkan wadah penyelesaian sengketa pajak dengan prosedur dan proses yang cepat, dan sederhana. Ketiga, dibutuhkan badan peradilan yang dapat memeriksa dan memutus sengketa pajak, yang menghasilkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Ilustrasi, lobi gedung pengadilan pajak.
Ilustrasi, lobi gedung pengadilan pajak. (Dok. Sekretariat Pengadilan Pajak)

Sekilas tentang Tugas dan Wewenang Pengadilan Pajak

Berdasarkan Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU 14/2002, tugas dan wewenang Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut:

  1. Pengadilan pajak memiliki kewenangan yang bersifat administratif, artinya mempunyai lingkup dalam administrasi negara.
  2. Bertanggung jawab memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan di tingkat banding, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sengketa pajak yang menjadi objek pemeriksaan adalah, sengketa yang dikemukakan pemohon banding dalam permohonan keberatan yang seharusnya diperhitungkan dan diputuskan dalam keputusan keberatan.
  3. Memeriksa dan memutus permohonan banding atas keputusan/ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sepanjang peraturan peraturan perundang-undangan yang terkait mengatur demikian.
  4. Pengadilan pajak berwenang memeriksa dan memutus sengketa gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak.
  5. Bertanggung jawab untuk mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan pajak.

Mengutip penjelasan Asosiasi Tax Center Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia (Atpetsi), Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa perpajakan. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan gugatan ke peradilan umum, peradilan tata usaha negara, atau badan peradilan lain.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Pengadilan Pajak mendapatkan pembinaan dari dua institusi berbeda, yaitu Mahkamah Agung untuk pembinaan teknis peradilan. Kedua, Kementerian Keuangan untuk pembinaan terkait organisasi, administrasi, dan keuangan. Meski demikian, pembinaan yang diberikan tidak boleh mengurangi independensi hakim dalam pemeriksaan dan pemutusan perkara sengketa pajak.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...