Menilik Sejarah APBN, dari Era Kolonial hingga Pasca-Reformasi

Image title
26 Oktober 2023, 11:05
APBN
ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.
Ilustrasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menyerahkan berkas tanggapan atas pengesahan RUU APBN 2024 kepada Ketua DPR Puan Maharani (kanan) dalam Rapat Paripurna ke-6 Masa Persidangan I 2023-2024 di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/9/2023).

Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2024 dalam rapat paripurna pada Kamis (21/9). Perencanaan anggaran negara tahun depan ini disepakati oleh delapan fraksi, delapan fraksi, yakni Gerindra, Nasdem, dan Golkar. Sementara, PKS menerima dengan catatan.

Dalam APBN terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo ini, belanja negara dipatok sebesar Rp 3.325 triliun dengan target pendapatan sebesar Rp 2.802,3 triliun. Target belanja dan pendapatan negara yang disahkan dalam sidang paripurna ini lebih besar Rp 20,98 triliun dibandingkan usulan awal dalam nota keuangan RAPBN 2024.

APBN merupakan rencana pengeluaran dan penerimaan negara yang dihubungkan dengan rencana dan proyek jangka panjang. Ini adalah pengelolaan keuangan negara setiap tahun yang ditetapkan dengan Undang-undang (UU).

Perjalanan pengelolaan keuangan melalui APBN sendiri tergolong panjang, yang dapat dilacak sejak era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Seperti apa bentuk penyusunan anggaran negara ini, serta masalah apa saja yang mengiringi dari masa ke masa? Simak ulasan berikut ini.

Rapat paripurna DPR
Rapat paripurna DPR (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/nym.)

Sejarah Penyusunan APBN di Indonesia

Seperti telah disebutkan, pengelolaan keuangan negara melalui APBN telah lama diterapkan di Indonesia, bahkan sejak negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Perbedaan utama dengan saat ini adalah, sistem yang digunakan.

Berikut ini ulasan mengenai pengelolaan keuangan negara melalui APBN sejak masa Hindia Belanda, hingga pasca-reformasi.

1. APBN Era Kolonial Hindia Belanda

Penyusunan anggaran negara pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda menggunakan Indische Comptablitetiswet (ICW) yang berlaku sejak 1867. Namun, sistem ini tidak secara rinci mengatur susunan dan bentuk anggaran.

Mengutip historia.id, komponan susunan dan bentuk anggaran saat itu diatur melalui Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie atau biasa disebut Indische Staatsregeling (IS). Ini merupakan semacam UU Ketatanegaraan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Sementara, pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara menggunakan pedoman Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR), atau ketentuan terkait pengadilan audit.

Memasuki dekade 1930-an, barulah ICW menjabarkan secara jelas mengenai alur penyusunan APBN. Pada periode ini, rancangan anggaran diajukan pemerintah melalui Department van Financien (Departemen Keuangan) kepada Volksraad (Dewan Rakyat).

Jika Volksraad dan Gubernur Jenderal memiliki kesepahaman terhadap rancangan anggaran, keduanya kemudian menetapkan rancangan anggaran tersebut melalui berbagai UU. Namun, cara ini sejatinya tidak efektif, karena ada banyak UU yang diterbitkan mengenai anggaran tiap departemen.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, pemerintah menggunakan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman penyusunan APBN. Pemerintah bertugas menghitung anggaran tersebut lalu diajukan ke DPR dan disahkan melalui UU.

Namun, penyusunan anggaran di masa awal-awal kemerdekaan ini masih merujuk pada ICW. Sebab, saat itu Indonesia belum memiliki UU yang khusus mengatur keuangan negara.

2. APBN Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)

Seperti disebutkan, penyusunan anggaran negara pada masa awal-awal kemerdekaan masih mengacu pada sistem ICW. Namun, pemerintah saat itu melakukan beberapa penyesuaian, yakni Pejabatan Keuangan, yang saat ini setara dengan Pejabat Eselon 1, dalam struktur birokrasi Departemen Keuangan. Saat itu penyusunan teknis APBN menjadi tanggung jawab bagian Urusan Anggaran Negara.

Meski demikian, penyusunan APBN di masa-masa awal kemerdekaan tidak berjalan mulus. Penyebabnya adalah, karena Indonesia merupakan bangsa yang baru merdeka, dan masih berjuang menghadapi upaya Belanda yang ingin kembali menguasai bekas koloninya.

Hal ini menyebabkan anggaran keuangan negara saat itu terus mengalami defisit, karena pengeluaran secara besar-besaran di bidang militer untuk mempertahankan kemerdekaan. Situasi perang yang terjadi selama 1945-1949 juga membuat urusan administrasi keuangan negara terpaksa ditelantarkan.

Pada periode ini, situasi negara masih diliputi chaos, dengan beberapa kejadian penting, seperti pemindahan Ibu Kota, beserta pejabat negara, dari Jakarta Ke Yogyakarta, adanya aksi militer oleh Belanda, serta beberapa aksi revolusi sosial.

Hal ini membuat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) selaku Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak bisa bekerja maksimal untuk membaca/mempelajari dan mengesahkan APBN.

Alhasil, meski merujuk pada sistem ICW peninggalan kolonial Hindia Belanda yang sudah cukup mapan, pengelolaan anggaran Indonesia di awal-awal kemerdekaan tidak berjalan mulus.

3. APBN di Era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin (1950-1965)

Penyusunan anggaran baru bisa berjalan cukup mulus, saat Perang Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 berakhir. Mulai 1950, penyusunan APBN mulai dibenahi, mengikuti pembenahan struktur Departemen Keuangan.

Saat itu, penyusunan APBN merupakan tanggung jawab Biro Urusan Anggaran dan Biro Inpres Anggaran dari Jawatan Perbendaharaan dan Kas Negeri.

Meski demikian, keberadaan biro ini belum bisa mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), yakni terkait kewajiban pemerintah dalam menyerahkan APBN ke DPR sebelum awal tahun fiskal, yang pada bulan April setiap tahun.

Sepanjang periode 1950-1959, atau pada era Demokrasi Parlementer, pemerintah selalu terlambat menyusun APBN. Penyebabnya adalah, karena seringnya pergantian kabinet. Sebagai informasi, pada era ini tercatat Indonesia berganti kabinet sebanyak tujuh kali.

Pada masa ini, APBN juga terus mengalami defisit. Selain karena perubahan program-program kerja pemerintah di tiap kabinet, Indonesia juga menghadapi sejumlah pemberontakan yang menelan banyak biaya.

Pada penghujung dekade 1950-an, Presiden Soekarno memutuskan untuk membubarkan DPR, setelah APBN yang ia ajukan ditolak. Presiden Soekarno juga mengeluarkan Perppu Nomor 6 tahun 1960 untuk menetapkan APBN, di mana ia menggunakan APBN 1959 untuk APBN 1960.

Memasuki periode yang disebut Demokrasi Terpimpin ini, Presiden Soekarno memecah posisi Menteri Keuangan, menjadi Menteri Urusan Perdagangan, Pembiayaan, dan Pengawasan, Menteri Urusan Bank Sentral, dan Menteri Urusan Anggaran Negara. Meski sudah menempatkan urusan anggaran pada posisi khusus, APBN belum juga beranjak dari defisit.

Penyebab APBN mengalami defisit pada masa Demokrasi Terpimpin, yakni 1959-1965, adalah, karena kondisi keuangan Indonesia masih kesulitan karena biaya-biaya yang timbul akibat pergolakan selama masa Demokrasi Parlementer.

DPR sahkan RUU APBN 2024
DPR sahkan RUU APBN 2024 (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.)

Mengutip Media Keuangan Edisi Oktober 2019, pada masa Demokrasi Terpimpin, kondisi fiskal Indonesia selalu dalam tekanan. Ini disebabkan karena, Presiden Soekarno mengambil sikap politik yang keras, seperti perebutan kembali Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat), kemudian konfrontasi dengan Malaysia.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...