Menilik Sejarah Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah di Indonesia

Image title
20 Februari 2024, 14:40
Perimbangan Keuangan
Tangkapan Layar YouTube DJPK
Ilustrasi, Gedung Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK).
Button AI Summarize

Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah atau UU HKPD, yang telah diundangkan sejak 5 Januari 2022. Ini merupakan wujud dari konsep perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Kemunculan UU ini, dimaksudkan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat bersama-sama saling membantu agar daerah dapat meningkatkan local taxing power. Selain itu, UU HKPD juga dimaksudkan untuk memperbaiki kebijakan transfer ke daerah. Oleh karena itu, ruang lingkup ketentuan tak hanya menyangkut pajak daerah dan retribusi daerah, tetapi juga tentang pengelolaan transfer ke daerah atau TKD.

TKD tergolong penting, karena dapat mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah, serta mengurangi ketimpangan kualitas dan kuantitas layanan publik di daerah.

Berikut ini ulasan mengenai sejarah pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang sejatinya telah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Sejarah Perimbangan Keuangan di Indonesia

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang beriringan dengan otonomi daerah, merupakan buah dari reformasi. Kendati demikian, gagasan ini sudah muncul jauh sebelumnya. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, saat masih bernama Hindia Belanda.

  • Perimbangan Keuangan Era Kolonial

Saat Indonesia masih berstatus sebagai koloni Kerajaan Belanda, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan terpusat. Segala sesuatu berasal dan diatur dari pusat (Batavia), serta diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan tidak terbuka-nya kemungkinan untuk melaksanakan otonomi.

Namun, sistem ini menimbulkan masalah. Sebab, banyak daerah-daerah di Hindia Belanda yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Apalagi, ketika sistem ekonomi liberal diterapkan pada 1870, berbagai urusan yang bersifat lokal menjadi semakin kompleks, sehingga menyulitkan pemerintah pusat.

Undang-undang (UU) yang sebelumnya dijalankan di Hindia Belanda menggunakan Reglement Op het Beleid der Regering van Nederlands Indie atau disingkat Regeringsreglement 1854 (UU Sistem Pemerintahan). Namun, karena desakan dari Parlemen Kerajaan Belanda, serta berjalannya politik etis, muncul aturan baru yang menjadi fondasi desentralisasi di Hindia Belanda.

Aturan tersebut berwujud UU yang bernama, Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie, yang dikeluarkan pada 23 Juli 1903. Aturan ini, dikenal sebagai Decentralisatie Wet 1903. Untuk pelaksanaannya, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan dua aturan turunan, yakni Decentralisatie Besluit 1905 dan Local Raden Ordonnantie.

Decentralisatie Besluit mengemukakan tentang pokok-pokok pembentukan, susunan, kedudukan, dan wewenang dewan (Raad) dalam pengelolaan keuangan yang dipisahkan dari pemerintah pusat.

Sementara, Local Raden Ordonnantie merupakan aturan pelaksanaan yang menentukan struktur, status, kewenangan dewan, yakni Gewestelijke Raad, Plaatselijk Raad, dan Gemeenteraad.

Decentralisatie Wet 1903 kemudian mengalami amandemen menjadi Bestuurshervormings wet 1922 atau UU Pembaruan Pemerintahan. Tujuan amandemen ini adalah, untuk merintis jalan bagi golongan pribumi memperoleh tempat atau porsi yang lebih besar dalam tata pemerintahan.

UU Desentralisasi ini, menciptakan dewan-dewan lokal di tingkat daerah (Gementee), baik Dewan Keresidenan maupun Dewan Kota, sebagai lembaga hukum yang mempunyai wewenang membuat peraturan.

Desentralisasi ini mencakup tiga hal, yaitu:

  1. Pendelegasian kekuasaan dari pemerintah pusat di Belanda ke Hindia-Belanda, kemudian dari pemerintahan ini ke departemen, pejabat lokal, dan dari pejabat Belanda ke pejabat pribumi.
  2. Menciptakan lembaga-lembaga otonom yang mengatur urusan sendiri.
  3. Memisahkan keuangan negara dan keuangan pribadi.

Salah satu hak yang diberikan kepada Gemeente adalah, hak untuk mengumpulkan pajak dari warga kota yang bersangkutan. Gemeente juga diberi hak mengumpulkan dana dari usaha-usaha yang dialihkan oleh pemerintah pusat, penjualan dan penyewaan rumah, tanah dan lain-lain.

Desentralisasi ini pupus ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda saat Perang Dunia II, dan ditandai dengan menyerahnya Belanda pada 1942. Setelah Indonesia merdeka, konsep desentralisasi kembali dihidupkan kembali.

  • Dihidupkan di Tengah Keterbatasan Republik Indonesia yang Baru Merdeka

Pasca Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintah menghidupkan kembali desentralisasi sebagai bagian dari tata pemerintahan Indonesia.

Ini terwujud dari dikeluarkannya UU Nomor 1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Pada Pasal 2 UU 1/1945, disebutkan bahwa  komite ini merupakan Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang berfungsi mengatur urusan rumah tangga daerah masing-masing selama tidak bertentangan dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih tinggi.

Upaya mewujudkan desentralisasi terus dilanjutkan, meski Indonesia saat itu menghadapi ancaman kembalinya Belanda. Bahkan, setelah Belanda melancarkan agresi militer, yang membuat wilayah Indonesia semakin mengecil.

Setelah UU 1/1945, konsep desentralisasi semakin dipertajam dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 tahun 1948. UU 22/1948 boleh dikatakan sebagai UU pertama Republik Indonesia yang mengatur secara perinci soal peran pemerintah daerah, termasuk di dalamnya soal keuangan daerah.

Ada tiga pasal dalam UU 22/1948 yang secara spesifik mengatur tentang keuangan daerah. Pertama, Pasal 37 yang menjabarkan terkait pendapatan daerah. Dalam Pasal 37 UU 22/1948, disebutkan bahwa pendapatan daerah berasal dari empat sumber, antara lain:

  1. Pajak dan retribusi daerah.
  2. Hasil/pendapatan perusahaan daerah.
  3. Bagian dari pajak negara yang diserahkan kepada daerah.
  4. Pendapatan dari sumber lain-lain.

Pendapatan dari sumber lain-lain yang dimaksud, terdiri dari tiga hal, yakni pinjaman dan subsidi. Kemudian, melakukan penjualan dan/atau penyewaan aset-aset milik daerah.

Kemudian, untuk urusan keuangan daerah tertuang dalam Pasal 38, yang menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berwenang menetapkan peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah.

UU 22/1948 juga mengatur soal penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Secara perinci, aturan mengenai APBD ini tertuang dalam Pasal 39 UU/1942, yang isinya adalah sebagai berikut:

  1. APBD ditetapkan dalam undang-undang.
  2. Untuk selanjutnya, APBD ditetapkan oleh DPRD.
  3. Setelah tahun pertama, APBD harus disahkan lebih dahulu oleh Presiden untuk Provinsi dan DPRD Provinsi untuk kabupaten/kota.
  4. Pengesahan atau penolakan mengenai seluruh anggaran pendapatan dan belanja dilakukan oleh Dewan Pemerintah Daerah (DPD).
  5. Tiap-tiap perubahan anggaran pendapatan dan belanja juga harus mendapat pengesahan.
  6. Apabila tidak dapat disahkan, maka dalam waktu satu bulan sesudah hari keputusan itu, hal itu harus diberitahukan kepada DPRD yang bersangkutan, dengan keterangan tentang sebab-sebabnya.
  7. Terhadap penolakan pengesahan itu, DPRD yang bersangkutan dapat memajukan keberatan kepada DPD setingkat lebih atas dari DPD yang menolak. Bila penolakan pengesahan itu terjadi oleh DPD Provinsi, maka keberatan itu diajukan kepada Presiden.
  8. Apabila anggaran pendapatan dan belanja bagi tahun yang bersangkutan pada 1 Januari belum mendapat pengesahan, maka anggaran tahun sebelumnya digunakan sebagai pedoman untuk sementara.

Meski secara yuridis UU 22/1948 sudah berlaku, namun penerapannya tergolong sangat sulit. Pasalnya, sebagian besar daerah di Indonesia sedang diduduki Belanda. Selain itu, Belanda juga membentuk negara-negara boneka yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO).

Usai Revolusi Kemerdekaan, bentuk negara berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), yang merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB). Terbentuknya RIS praktis membuat UU 22/1948 tidak berjalan, karena masing-masing daerah memiliki kewenangan keuangan, layaknya sistem negara federal.

UU 22/1948 kembali digunakan, saat Indonesia meninggalkan bentuk negara federal, dan kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

  • Terlambat Dirumuskan di Era Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin

Pasca-Indonesia mengumumkan kembali ke sistem NKRI, UU 22/1948 kembali diberlakukan. Namun, meski sudah menjabarkan mengenai tugas daerah dan kewenangan keuangan daerah, UU ini belum secara perinci menjelaskan mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Oleh karena itu, upaya untuk menyempurnakan aturan mengenai otonomi dan perimbangan keuangan terus dilakukan sejak 1951. Namun, upaya ini selalu gagal.

Penyebabnya adalah, karena sistem demokrasi parlementer yang dianut Indonesia saat itu berjalan kacau, dengan banyaknya pergantian kabinet. Alhasil, masalah otonomi dan perimbangan keuangan yang sudah cukup atau telah banyak mendapat pembahasan, menjadi mentah kembali dan harus kembali ditinjau dari asal permulaan oleh menteri yang mengoper tanggung jawab.

Hingga kemudian, muncul UU Nomor 56 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah-Tangganya Sendiri.

Mengutip mediakeuangan.kemenkeu.go.id, sesuai amanat Pasal 10 UU 32/1956, pemerintah diminta membentuk suatu panitia pertimbangan tentang perimbangan keuangan. Maka, melalui Keputusan Presiden (Keppres) 196/1957, Panitia Negara Perimbangan Keuangan dibentuk dan diketuai oleh Moh. Nasrun.

Hasil kerja Panitia Negara antara lain, berupa beberapa Peraturan Pemerintah (PP) pada 1958, 1959, dan 1960, mengenai penetapan persentase dari beberapa penerimaan negara untuk daerah.

Anggota-anggota Panitia Negara yang dibentuk oleh Moh. Nasrun diberhentikan pada November 1960. Sebagai penggantinya, diangkat anggota-anggota baru yang diketuai oleh T.M. Hasan. Sama seperti sebelumnya, panitia ini menghasilkan PP tentang penetapan persentase dari beberapa penerimaan negara untuk daerah pada 1961, 1962, dan 1963.

Kendati setiap tahun naik, sumbangan pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom masih belum seperti yang dicita-citakan. Pasalnya, sumbangan pemerintah pusat masih merupakan bagian terbesar penerimaan daerah. Hal seperti ini, dinilai bertentangan dengan prinsip otonomi.

Sehingga, pelaksanaan UU 32/1956 ini masih tidak memuaskan. Selain karena daerah belum punya tenaga teknis dan peralatan yang memadai, Penerimaan uang bagian dari pajak negara sering terlambat, karena menunggu perhitungan Inspeksi Keuangan. Selain itu, nilainya juga masih tidak sesuai dengan kedudukan daerah.

Menyingkapi hal ini, Majelis Permusyawaratan Perwakilan Sementara (MPRS) menyarankan agar UU 32/1956 perlu disempurnakan. Atas saran tersebut, pemerintah kemudian membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, yang diketuai oleh R.P. Soeroso. Panitia ini menghasilkan RUU yang diserahkan kepada pemerintah pada 1963.

RUU tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang lebih progresif daripada UU 32/1956. Misalnya, penerimaan daerah diperkirakan 34% dari penerimaan negara. Namun pembahasan RUU dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong (DPRGR) berjalan alot, sehingga tidak bisa disahkan. Maka, UU 32/1956 tetap berlaku.

Sementara yang berhasil disahkan adalah UU 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini disahkan pada 1 September 1965.

UU 18/1965 ini cukup menarik, karena menjabarkan secara luas sumber-sumber pendapatan daerah, serta kewenangan yang dimiliki daerah dalam urusan keuangan.

Dalam UU 18/1965, juga disebutkan bahwa pemerintah daerah bisa mengajukan pinjaman untuk mendanai pembangunan daerah. Pengajuan pinjaman tersebut dilakukan atas sepengetahuan Menteri Dalam Negeri dan Gubernur, untuk pengajuan pinjaman oleh pemerintah kabupaten/kota.

UU ini juga menempatkan daerah dalam derajat yang tinggi. Ini terlihat dari Pasal 75 UU 18/1965, yang menyebutkan, bahwa pemerintah Daerah memegang semua kekuasaan mengenai pengelolaan keuangan daerah.

Sayangnya, UU 18/1965 belum sempat dijalankan secara efektif. Pasalnya, beberapa pekan setelah pengesahannya terjadi tragedi 30 September 1965, yang menyebabkan berakhirnya pemerintahan Presiden Soekarno, dan mengubah wajah politik Indonesia selama tiga dekade selanjutnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...