Mengenal Rasio C-Efficiency PPN, Latar Belakang dan Perhitungannya

Image title
14 Juli 2022, 17:59
PPN, pajak, perpajakan, c-efficiency PPN
123rf.com
Ilustrasi, pajak.

Pada pertengahan 2021, pemerintah sempat mengutarakan rencana mereformasi sistem Pajak Pertambahan Nilai atau PPN, dengan memperkenalkan skema multitarif.

Salah satu alasan pemerintah ingin mereformasi sistem PPN adalah, karena realisasi pengumpulan PPN tidak riil. Ini terlihat dari c-efficiency PPN sebesar 63,58%. Artinya, pemerintah hanya bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.

Meski rencana penggunaan skema multitarif dibatalkan, topik mengenai rasio c-efficiency cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut. Sebab, rasio ini diyakini mampu menggambarkan secara riil potensi penerimaan PPN.

Apa sebenarnya rasio c-efficiency, dan seperti apa rumus perhitungan rasio ini? Simak ulasan berikut.

Latar Belakang Munculnya Rasio C-Efficiency PPN

Pada dasarnya, terdapat kebutuhan untuk mengevaluasi serta mengukur kinerja penerimaan PPN. Tujuan evaluasi dan pengukuran tersebut, adalah untuk meninjau optimal, atau tidaknya kebijakan, serta administrasi PPN terhadap penerimaan.

Mengutip ddtc.co.id, pengukuran kinerja PPN bisa dilakukan melalui berbagai indikator. Mayoritas indikator menggunakan realisasi penerimaan PPN sebagai angka pembilang, serta aktivitas ekonomi yang merefleksikan potensi PPN sebagai penyebut.

Pada awalnya, para akademisi dan pemangku kebijakan menggunakan suatu pengukuran sederhana, yaitu rasio PPN. Indikator ini, dihitung secara sederhana, yaitu dengan membagi penerimaan PPN dengan produk domestik bruto (PDB).

Namun, ada beberapa kelemahan dari indikator ini. Pertama, jika PDB digunakan sebagai penyebut. Sebab, pada dasarnya PDB merupakan akumulasi dari seluruh aktivitas ekonomi, tidak hanya konsumsi yang merupakan objek dari PPN. Oleh karena itu, perhitungannya berpotensi bias.

Kedua, perbandingan antarnegara akan sulit dilakukan, karena setiap negara memiliki tarif PPN yang bervariasi. Misalnya, perbandingan kinerja penerimaan PPN dua negara, dengan PDB relatif sama, namun memiliki tarif PPN yang berbeda. Hasilnya akan bias, karena negara dengan tarif PPN yang lebih besar, relatif memiliki kinerja penerimaan yang lebih baik.

Oleh karena itu, muncul alternatif indikator lain. Misalnya, rasio efisiensi PPN, yang dihitung dengan rumus penerimaan PPN / (tarif PPN x PDB).

Pengukuran ini dianggap lebih tepat dibandingkan pengukuran rasio PPN. Sebab, karena telah menggunakan variabel tarif PPN (standard rate). Dengan demikian, angka penyebut dianggap telah mempertimbangkan basis pajak yang lebih riil.

Misalnya, jika Indonesia memiliki PDB sebesar Rp 15.432 triliun, dengan tarif PPN 10%, maka potensi basis PPN diproyeksi senilai Rp 1.543 triliun. Perhitungan potensi penerimaan PPN berbasis indikator ini beberapa kali dipergunakan dalam berbagai diskusi publik.

Namun, indikator ini juga memiliki kelemahan. Sebab, masih menyertakan keseluruhan PDB sebagai basis perhitungan. Padahal, PDB tidak mencerminkan basis PPN.

Inilah yang menjadi dasar munculnya indikator baru, yaitu rasio c-efficiency PPN, yang menitikberatkan pada angka konsumsi final dalam satu periode sebagai basis perhitungan.

Sekilas Rasio C-Efficiency PPN

Indikator untuk mengukur kinerja efisiensi PPN dengan menggunakan rasio c-efficiency jauh berbeda dibandingkan indiaktor-indikator lain, seperti rasio PPN maupun rasio efisiensi PPN.

Berbeda dengan rasio efisiensi, rasio c-efficiency PPN tidak menggunakan seluruh PDB dalam komponen perhitungan. Melainkan, hanya menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja. Mengerucutkan variabel perhitungan ke konsumsi, membuat indikator ini mampu menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...