IMF Prediksi Penurunan Emisi Karbon Akan Ciptakan Jutaan Pekerjaan
Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan komitmen berbagai negara untuk memangkas emisi karbon global akan membutuhkan peningkatan investasi besar dalam dua dekade ke depan. Hal ini menjadi peluang bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
"Pergeseran ke energi terbarukan, jaringan listrik baru, efisiensi energi, mobilitas rendah karbon menawarkan peluang investasi yang besar," ujar Direktur Eksekutif IMF Kristalina Georgieva dalam pertemuan dengan para menteri negara anggota G20 akhir pekan lalu, seperti dikutip dari laman resmi IMF.
Georgieva mengatakan, ini adalah peluang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peinciptaan lapangan pekerjaan. Penelitian IMF menunjukkan bahwa kebijakan investasi hijau dapat meningkatkan PDB global sekitar 2% pada dekade ini dan menciptakan jutaan lapangan kerja baru.
Ia menyebut rata-rata 30% investasi baru ramah lingkungan diharapkan datang dari pemerintah. Ini penting untuk memobilisasi 70% sisa kebutuhan investasi dari swasta. Dengan demikian, pemerintah perlu memprioritasikan investasi dan penganggaran yang ramah lingkungan.
Georgieva mengatakan, lembaga-lembaga keuangan internasional dapat membantu mengurangi biaya dan risiko dari investasi-investasi ini. Namun, ia juga menyarankan pemerintah untuk membantu menyediakan infrastruktur yang mendukung penerapan teknologi rendah karbon sebagai tanggapan atas rencana penetapan harga karbon.
"Kebijakan sektor keuangan, seperti taksonomi hijau dan pengungkapan risiko umum juga dapat mengarahkan investasi swasta menuju proyek yang berkelanjutan," katanya.
Mendorong investasi ramah lingkungan menjadi salah satu prioritas kebijakan global untuk menekan efek gas rumah kaca. Prioritas utama lainnya, menurut Georgieva, adalah membuat sinyal kepada pasar untuk bekerja menciptakan ekonomi iklim baru. Dunia perlu melepaskan diri dari segala bentuk subsidi bahan bakar fosil.
Penetapan harga karbon menjadi salah satu kunci untuk memberikan sinyal penting dan mengarahkan investasi dan inocasi swasta ke teknologi bersih. Penelitian IMF menunjukkan bahwa, tanpa kebijakan ini, dunia tidak akan mampu mencapai tujuan perjanjian paris.
Badan Energi Internasional (IEA) menargetkan emisi karbon dioksida (CO2) hilang sepenuhnya pada 2050.
"Sinyal harga ini harus diperkuat. Pada tahun 2030, kita membutuhkan harga karbon global rata-rata US$ 75 per ton C02, naik dari US$ 3 per ton saat ini dengan cakupan emisi 23%,"ujarnya.
Saran lain yang lebih berambisi dari IMF adalah kesepakatan dasar harga karbon internasional, di antara negara penghasil emisi utama. Dengan desain pragmatis, jenis pengaturan ini akan memungkinkan harga minimum yang berbeda berdasarkan tingkat pembangunan yang berbeda dan pendekatan kebijakan nasional yang berbeda.
Ia menjelaskan, harga dasar karbon tidak harus berupa pajak. Beberapa negara mungkin lebih memilih langkah-langkah lain untuk mencapai hasil yang sama, seperti perdagangan emisi atau kombinasi biaya/regulasi di tingkat sektoral.
Georgieva mengatakan, prioritas lainnya adalah transisi yang adil. Ia menekankan peralihan ke ekonomi rendah karbon harus berjalan adil dan menguntungkan semua pihak.
Pemerintah harus menyadari bahwa dekarbonisasi akan berdampak pada rumah tangga yang rentan, serta bisnis dan pekerja yang saat ini ditempatkan di sektor-sektor dengan emisi tinggi. Untuk itu, menurut dia, tindakan kompensasi yang adil akan diperlukan.
Ia mencontohkan, pendapatan dari skema penetapan harga karbon dapat mendanai bantuan tunai, jaring pengaman sosial, pelatihan ulang pekerja, dan skema relokasi.
"Kebijakan berbasis tempat dapat membantu mengembangkan industri dan pekerjaan rendah karbon baru melalui investasi hijau," katanya.
Pemerintah tengah berencana menerapkan pajak karbon dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakini intervensi pemerintah ini tak hanya berdampak pada pengurangan emisi gas, tetapi juga mendorong investasi ramah lingkungan masuk ke Indonesia.
“Banyak yang percaya harga karbon berkontribusi untuk mengurangi emisi dan pada saat yang sama menggerakkan sumber finansial untuk perubahan iklim,” ujar Sri Mulyani dalam G20 High Level Tax Symposium akhir pekan lalu, seperti dikutip dari siaran pers.
Ia menjelaskan, pemerintah bersama DPR saat ini tengah mempersiapkan kerangka aturan pajak karbon sebagai bagian dari reformasi perpajakan di Indonesia. Dalam menyusun kerangka aturan tersebut, Sri Mulyani mengatakan, Indonesia belajar dari pengalaman negara lain dalam menerapkan pajak karbon dan implikasinya.
“Berdiskusi dan mendengar pengalaman negara lain akan sangat berguna bagi Indonesia untuk membangun kerangka yang tepat, baik harga karbon maupun pajak karbon sebagai instrumen untuk membangun mekanisme pasar dan menangani perubahan iklim,” katanya.
Dalam RUU KUP, pemerintah berencana menerapkan pajak karbon paling rendah sebesar Rp 75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Karbon dioksida ekuivalen (CO2e) merupakan representasi emisi gas rumah kaca antara lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4). Sedangkan, yang dimaksud dengan setara adalah satuan konversi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) antara lain ke satuan massa dan satuan volume.
Ketentuan mengenai penetapan dan perubahan tarif pajak karbon, penambahan objek pajak yang dikenai pajak karbon selain yang sudah tertera diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.