Banyak Target Asumsi Makro dalam APBN 2021 yang Berpotensi Meleset
Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan UU APBN 2021. Pertumbuhan ekonomi dipatok sebesar 5% pada tahun depan seiring dampak pandemi Covid-19 yang diharapkan mereda.
Selain pertumbuhan ekonomi, APBN 2021 juga mematok laju inflasi sebesar 3%, nilai tukar rupiah Rp 14.600 per dolar AS, dan tingkat suku bunga SBN 10 tahun ditargetkan pada level 7,29%. Asumsi makro lainnya yakni harga minyak mentah Indonesia US$ 45 per barel dengan lifting minyak bumi US$ 705 ribu barel per hari dan lifting gas bumi 1,007 juta barel setara minyak per hari.
Target sejumlah asumsi makro yang ditetapkan dalam APBN 2021 tak berbeda jauh dari usulan yang disampaikan pemerintah dalam nota keuangan seperti terlihat pada databoks di bawah ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut pertumbuhan ekonomi pada tahun depan didukung pemulihan konsumsi secara bertahap. Hal ini seiring mulai pulihnya aktivitas ekonomi dan kondisi era kenormalan baru.
Sementara itu, konsumsi pemerintah akan terus didorong untuk mendukung peningkatan daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial didukung inflasi yang tetap terjaga. Investasi diperkirakan tumbuh lebih tinggi terutama karena adanya faktor base effecr dan meningkatnya program pembangunan.
Dengan membaiknya perekonomian global, Sri Mulyani mengatakan bahwa ekspor dan impor semakin tumbuh pada tahun depan dengan perbaikan permintaan dan pasokan di pasar global. "Bersama harapan meredanya pandemi Covid-19 pada tahun mendatang," kata Sri Mulyani dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (30/9).
Dari sisi kebijakan pendapatan negara, pemerintah berupaya untuk melakukan optimalisasi penerimaan negara melalui perluasan basis pajak. Sekaligus, mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional melalui pemberian insentif sejalan dengan upaya reformasi di bidang perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak.
Target pendapatan negara pada APBN 2021 mencapai Rp 1.743,6 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 1.444,5 triliun, PNBP Rp 298,2 triliun, dan penerimaan hibah Rp 900 miliar.
Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak yang diproyeksikan akan mencapai Rp 1.229,6 triliun dengan fokus memberikan dukungan insentif secara selektif dan terukur untuk percepatan pemulihan ekonomi serta melanjutkan reformasi pajak. Sedangkan, kepabeanan dan cukai ditargetkan sebesar Rp 215 triliun yang disertai dengan dukungan percepatan pemulihan dan transformasi ekonomi serta penguatan pengawasan yang terintergrasi.
Sedangkan belanja negara ditargetkan mencapai Rp 2.750 triliun. Belanja tahun depan diarahkan untuk mendukung pemulihan ekonomi dan prioritas pembangunan di bidang kesehatan, pendidikan, teknologi informasi dan komunikasi, infrastruktur, ketahanan pangan, pariwisata, dan perlindungan sosial.
Dengan demikian, defisit APBN Tahun 2021 direncanakan sebesar Rp 1.006,4 triliun atau setara 5,7% dari PDB. Defisit ini sejalan dengan upaya melanjutkan penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, ketika potensi sisi penerimaan belum sepenuhnya pulih.
Sri Mulyani menjelaskan defisit anggaran telah mempertimbangkan kebijakan fiskal konsolidatif secara bertahap kembali menuju batasan maksimal 3% PDB pada tahun 2023. Ia pun berharap momentum pertumbuhan ekonomi dapat dijaga sehingga pemerintah mampu mencapai target-target pembangunan nasional.
Ekonom Center Of Reform on Economics Yusuf Rendy Manilet menuturkan bahwa kredibilitas asumsi makro akan berbeda antara satu komponen dengan yang lain. Dalam hal pertumbuhan ekonomi misalnya, selama dua tahun terakhir asumsi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali meleset dari target yang ditetapkan.
Padahal, asumsi pertumbuhan ekonomi menjadi penting karena indikator tersebut akhirnya akan mempengaruhi asumsi pada penerimaan dan belanja pada APBN. Khusus untuk penerimaan menjadi esensial karena asumi penerimaan juga akan mempengaruhi target defisit anggaran.
"Jadi memang khusus asumsi makro APBN 2021 menjadi tantangan tersendiri dalam mencapai target pertumbuhan 5%," kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Rabu (30/9).
Sementara untuk inflasi, Yusuf berpendapat bahwa selama dua tahun terakhir sudah berada dalam kisaran target asumsi makro pemerintah. Bank Indonesia dalam hal ini berhasil menjaga angka inflasi.
Kendati demikian, untuk nilai tukar memang cenderung berfluktuatif. Ini tidak terlepas dari volatilitas di pasar keuangan. Ketika aliran modal asing keluar terjadi, rupiah akan mempunyai kecenderungan melemah.
"Untuk bisa menjaga stabilitas nilai tukar, memang pekerjaan rumahnya ada pada perbaikan fundamental ekonomi dan pendalaman pasar keuangan," ujarnya.
Dengan asumsi pemerintah yang sudah belajar pada pengalaman belanja negara tahun ini, Yusuf memperkirakan realisasi belanja negara akan lebih baik di tahun depan. Tetapi, yang perlu menjadi perhatian tentu dari sisi penerimaan karena rasio pajak terhadap PDB diproyeksikan masih akan berada di kisaran 9%.
Berdasarkan pengalaman, dia memproyeksikan waktu pemulihan kinerja pajak akan lebih lama dari pemulihan ekonomi. Maka, ada kemungkinan target penerimaan pajak akan kembali mengalami shortfall pada tahun depan. Hal ini yang kemudian bisa bermuara pada defisit anggaran yang diperkirakan kembali melebar dari target yang ditetapkan pemerintah.