Ekspor-Impor Membaik, Neraca Perdagangan September Surplus US$ 2,44 M
Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan pada September kembali mengalami surplus sebesar US$ 2,44 miliar, meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai US$ 2,3 miliar. Secara kumulatif pada Januari-September 2020, neraca perdagangan mencatatkan surplus mencapai US$ 13,51 miliar, jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mengalami defisit.
Kepala BPS Suhariyanto menjelaskan kinerja ekspor dan impor pada September mencatatkan kenaikan. Ekspor naik 6,97% dibandingkan Agustus menjadi US$ 14,01 miliar, sedangkan impor meningkat 7,7% menjadi US$ 11,57 milliar.
"Neraca perdagangan pada September surplus US$ 2,44 miliar. Jadi selama 5 bulan berturut-turut sejak Mei, Indonesia mengalami surplus," ujar Suhariyanto dalam konferensi video pada Kamis (15/10).
Indonesia antara lain mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat mencapai US$ 1,08 miliar, India sebesar US$ 562 miliar, dan Filipina sebesar US$ 491 miliar. Sedangkan defisit perdagangan terjadi dengan Tiongkok yang mencapai US$ 879 miliar, Ukraina US$ 140 miliar, dan Brasil US$ 119 miliar.
Suhariyanto menjelaskan, kenaikan ekspor pada September terutama didorong oleh sektor migas yang tumbuh 17,43%, sedangkan nonmigas tumbuh 6,47%. Meski tumbuh dibandingkan bulan sebelumnya, ekspor secara tahunan atau year on year masih tercatat turun 0,51%. "Ekspor migas turun 12,44%, sedangkan nonmigas naik 0,21%," katanya.
Berdasarkan sektornya, menurut dia, pertanian tumbuh paling kencang mencapai 28,84% dibandingkan Agustus atau 16,22% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan terutama terjadi pada produk holtikultura seperti komoditas sayuran, buah-buahan, kopi, lada, udang, serta hasil tanaman.
"Kenaikan ekspor pertanian ini konsisten sehingga porsi pertanian pada total ekspor mulai naik jadi 2,95%," ujarnya.
Ekspor industri pengolahan juga tumbuh 7,37% dibandingkan Agustus. Kenaikan berasal dari ekspor pada komoditas besi dan baja, minyak kelapa sawit, kendaraan bermotor, serta pulp. Sementara itu, sektor pertambangan masih mencatatkan penurunan sebesar 4,1%
"Ekspor pertambangan terus turun karena perminatan untuk baturbara turun. Harga batu bara juga turun cukup dalam mencapai 17% dibanding tahun lalu," katanya.
Impor pada September juga didorong oleh sektor migas yang mencatatkan kenaikan sebesar 23,9% dibandingkan Agustus, sedangkan impor nonmigas naik 6,18%. Meski demikian, dibandingkan periode yang sama tahun lalu atau year on year, impor pada September masih tercatat turun 18,88%. "Karena ada penurunan pada impor migas dan nonmigas," ujarnya.
Kenaikan impor terbesar terjadi pada komponen mesin dan perlatan mekanis. Kemudian disusul oleh besi dan baja, mesin dan perlengkapan elektrik, dan kendaraan lainnya. Sementara impor biji kerak dan abu logam, pupuk, kereta api dan bagiannya, barang tekstil jadi lainnya, serta tembakau dan rokok menurun.
"Peningkatan impor terbesar dari Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, dan Ukraina," katanya.
Berdasarkan kelompok penggunaan barangnya, kenaikan impor terutama terjadi pada barang modal dan bahan baku yang masing-masing meningkat 19,01% dan 7,23% dibandingkan Agustus. Impor barang modal tercatat sebesar US$ 2,13 miliar dan bahan baku US$ 8,23 miliar. Sementara itu, impor konsumsi turun 6,12% menjadu US$ 1,12 miliar.
Secara kumulatif Januari-September, menurut Suhariyanto, total impor mencapai US$ 103,68, masih menurun 18,15% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara total ekspor mencapai US$ 117,19 miliar. "Secara kumulatif, neraca perdagangan kita surplus US$ 13,51 miliar," ujarnya.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, perbaikan ekspor bulanan didukung oleh peningkatan aktivitas manufaktur dari mitra dagang utama Indonesia seperti kawasan Eropa AS, Jepang, India, Korea. Sementara itu di sisi yang lain, impor bulan September masih dipengaruhi oleh kontraksi aktivitas manufaktur domestik.