Penerimaan Pajak Makin Anjlok, Defisit APBN per September Rp 682 T
Pemerintah mencatat defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara hingga September 2020 mencapai Rp 682,1 triliun atau 4,16% terhadap produk domestik bruto. Pendapatan negara mencapai 1.159 triliun atau anjlok 13,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sedangkan belanja negara naik 15,2% mencapai Rp 1.541 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, pendapatan negara mengalami tekanan hingga September karena memang seluruh bisnis dan pembayar pajak mengalami tekanan. Namun, pemerintah berhasil mengakselerasikan belanja yang diharapkan mendorong ekonomi kembali ke siklus positif.
"Defisit APBN keseluruhan mencapai 682,21 triliun atau 4,16% terhadap PDB. Tren ini masih sesuai dengan Perpres Nomor 72 Tahun 2020," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Senin (19/10).
Sri Mulyani menjabarkan penerimaan dalam negeri turun 14,9% menjadi Rp 1.159 triliun. Jika dirinci, penerimaan pajak turun 16,9% menjadi Rp 750,6 triliun, bea dan cukai naik 3,8% menjadi Rp 141,8 triliun, sedangkan penerimaan negara bukan pajak turun 13,8% menjadi Rp 260,9 triliun.
Kontraksi penerimaan pajak hingga September lebih dalam dibandingkan Agustus yang mencapai 15,6%. "Penerimaan PPh migas mengalami kontraksi yang sangat dalam mencapai 45,3% atau baru terkumpul Rp 23,6 triliun," katanya.
Sedangkan pajak nonmigas turun 15,4% menjadi Rp 727 triliun. Berdasarkan jenisnya, PPh nonmigas turun 16,9% menjadi Rp418,2 triliun, PPN turun 13,9% menjadi Rp 290,3 triliun, PBB turun 9,6% menjadii Rp 14 triliun, dan pajak lainnya turun 6,4% menjadi Rp 4,5 triliun.
Satu-satunya komponen penerimaan dalam perpajakan yang masih tumbuh positif adalah cukai yang naik 7,2% menjadi Rp 115,3 triliun. Sementara pendapatan pajak perdagangan internasional turun 9% menjadi Rp 79,1 triliun.
Di sisi belanja, menurut Sri Mulyani, kenaikan terutama terjadi pada belanja pemerintah pusat yang tumbuh 21,2% mencapai Rp 1.211,4 triliun. "Transfer ke daerah dan dana desa juga pencairannya meningkat 5,8% menjadi Rp 629,7 triliun sehingga diharapkan dapat membantu pemerintah daerah memulihkan ekonomi," katanya.
Pada komponen belanja pemerintah pusat, belanja kementerian/lembaga tumbuh 13,7% menjadi Rp 632,1 triliun. Berdasarkan jenisnya, belanja pegawai turun 2,6% menjadi Rp 180 triliun, belanja modal turun 9% menjadi Rp 73,2 triliun, dan belanja barang naik 9,1% mnenjadi Rp 222,7 triliun.
"Bansos yang merupakan upaya pemerintah secara luar biasa untuk melindungi masyarakat dari dampak Covid-19 melonjak paling besar. Realisasinya hingga September naik 79,8% menjadi Rp 156,3 triliun atau sudah mendekati pagu dalam Perpres," ujarnya.
Belanja non/KL tercatat naik 30,7% menjadi Rp 579,2 triliun. Kenaikan belanja terutama terjadi pada belanja lain-lain yang melonjak lebih dari 5.000% menjadi Rp 112,4 triliun, sedangkan belanja subsidi turun 8,3% mnjadi Rp 114,3 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan belanja non-KL pada tahun ini meningkat, antara lain karena terdapat sejumlah program bantuan masyarakat yang masuk dalam pos belanja ini seperti kartu prakerja dan kompensasi.
"Keseimbangan primer secara keseluruhan tercaatat negatif Rp 447,4 triliun," ujarnya.
Panel Ahli Katadata Insight Center Damhuri Nasution mengatakan bahwa keseimbangan primer yang naik tajam merupakan konsekuensi logis dari ekspansi fiskal yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam keadaan sulit seperti ini, penerimaan pemerintah terutama perpajakan sudah pasti menurun, sedanglan belanja meningkat seiring berbagai stimulus perekonomian.
"Ini yang membuat keseimbangan primer maupun defisit APBN nya melebar," ujar Damhuri kepada Katadata.co.id, pekan pertama bulan ini.
Ia menilai penerimaan negara akan kembali meningkat jika ekonomi sudah mulai pulih. Keseimbangan primer dan defisit APBN pun akan kembali menyempit.