Beban Berat Kas Negara Tangani Pandemi Pasca-Burden Sharing BI
- Kebijakan burden sharing pembiayaan APBN antara pemerintah dan BI hanya berlaku tahun lalu.
- BI tetap menjadi pembeli siaga dalam penerbitan SBN pemerintah pada tahun ini.
- Beban pembayaran bunga utang pemerintah berpotensi meningkat meski tren suku bunga menurun.
Beban pemerintah membayar bunga utang pada tahun lalu lebih ringan karena sebagian ditanggung oleh Bank Indonesia melalui skema pembagian beban atau burden sharing. Pembayaran bunga utang hanya naik 14% dibandingkan 2019 meski total utang melonjak 27% menjadi Rp 6.074,56 triliun.
Namun, kebijakan burden sharing pemerintah dengan BI untuk membiayai penanganan pandemi Covid-19 tersebut tidak berlaku lagi tahun ini.
Ada dua surat keputusan bersama atau SKB yang diteken pemerintah dan BI terkait pembiayaan utang untuk penanganan pandemi Covid-19 pada tahun lalu. SKB I yang diteken pada 16 April 2020 memperbolehkan Bank Indonesia untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana sebagai non-competitive bidder.
Sedangkan pada SKB II yang diteken 7 Juli 2020, pemerintah dan BI membagi beban pembiayaan berdasarkan kelompok barang publik dan barang nonpublik.
Belanja untuk manfaat publik terdiri dari belanja kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, dan sektoral k/l & pemda Rp 106,11 triliun. Adapun, beban biaya utang ditanggung oleh BI.
Untuk pembiyaan belanja publik, BI tetap membeli SBN yang diterbitkan pemerintah dengan suku bunga acuan BI reverse repo rate. Pemerintah pun membayar bunga atau imbalan kepada BI sesuai tanggal jatuh tempo, tetapi pada hari yang sama akan dikembalikan BI ke rekening pemerintah. SBN tersebut juga bersifat tradable atau dapat diperdagangkan.
Sementara untuk pembiayaan nonpublik, BI membeli SBN dengan kupon sesuai BI 7 days reverse repo rate. Namun khusus untuk pembelian barang nonpublik untuk UMKM, BI hanya memperoleh kupon BI 7 days reverse repo rate dikurangi diskon 1%.
Pembiayaan barang nonpublik terdiri dari bantuan UMKM sebesar Rp 123,46 triliun dan pembiayaan korporasi non-UMKM Rp 53,57 triliun.
Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan burden sharing dengan pemerintah melalui SKB II yang diteken pada Juli hanya satu kali berlaku pada tahun lalu. Namun, pemerintah dan Bank Indonesia memperpanjang pemberlakuan SKB I hingga 31 Desember 2021.
"Mekanisme sama, BI bertindak sebagai non-competitive bidder, dalam hal pasar tidak bisa menyerap kebutuhan lelang," ujar Perry dalam konferensi pers secara vitual usai Rapat Dewan Gubernur, pekan lalu.
Perry menyebut BI pada tahun lalu telah membeli SBN dalam rangka pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp 473,42 triliun. Pembelian SBN ini dari Rp75,86 triliun berdasarkan SKB I dan Rp397,56 triliun berdasarkan SKB II.
Pihaknya juga telah merealsasikan pembagian beban dengan Pemerintah atas penerbitan SBN untuk pendanaan nonpublik-UMKM sebesar Rp 114,81 triliun dan nonpublik korporasi sebesar Rp62,22 triliun sesuai SKB II.
Pada tahun ini, BI juga telah menyerap SBN sesuai dengan SKB II yang diperpanjang yakni mencapai Rp 25,9 triliun hingga 20 Januari. Pembelian SBN terdiri dari Rp 9,18 triliun melalui lelang utama dan Rp 16,73 triliun melalui mekanisme Greenshoe Option.
Di sisi lain, BI juga melaksanakan pelonggaran likuiditas (quantitative easing) mencapai Rp 726,6 triliun atau 4,69% terhadap PDB. QE yang dilaksanakan BI, terdiri dari pembelian SBN di pasar sekunder Rp 166,2 triliun, term repo atau FX swap perbankan Rp 389,6 triliun, penurunan GWM rupiah Rp 155 triliun, dan tidak mengenakan tambahan untuk RIM Rp 15,8 triliun. Pada tahun ini, BI juga telah melaksanakan QE sebesar Rp 7,44 triliun hingga 19 Januari.
Langkah BI membeli SBN di pasar primer dan sukender mendorong lonjakan kepemilikan SBN oleh bank sentral pada tahun lalu.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risko, BI mengenggam SBN mencapai Rp 874,88 triliun atau 22,6% dari total SBN yang beredar akhir tahun lalu. Sebesar Rp 420,5 triliun atau hampir separuh dari total SBN yang digengam merupakan bagian dari operasi moneter BI.
Jumlah ini melonjak dari posisi akhir 2019. Saat itu, BI hanya menggenggam Rp 273,21 triliun atau 9,54% dari total surat utang pemerintah. Hanya Rp 10,72 triliun atau 0,39% merupakan bagian dari operasi moneter.
Hingga 19 Januari, kepemilikan BI pada surat utang pemerintah mencapai Rp 882,83 triliun atau 22,53%. Dari jumlah tersebut, Rp 508,33 triliun merupakan bagian dari operasi moneter.
Beban Bunga Utang Pemerintah
Direktur Surat Utang Negara Kementerian Keuangan Deni Ridwan menjelaskan tak ada lagi burden sharing pembiayaan antara pemerintah dengan BI pada tahun ini seperti tahun lalu. Pembelian SBN di pasar perdana oleh BI sesuai dengan SKB I akan mengikuti harga pasar.
"Meski tanpa burden sharing, pemerintah optimistis dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN tahun ini," kata Deni kepada Katadata.co.id, Selasa (26/1).
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menjelaskan kesediaan BI untuk tetap menjadi pembeli siaga dalam penerbitan SBN pemerintah memberikan jaminan bahwa pembiayaan defisit anggaran akan terpenuhi. Namun, beban pemerintah untuk membayarkan bunga pinjaman lebih besar.
"BI sebagai standby buyer ini jaminan bahwa tidak akan ada masalah di pembiyaan APBN, tetapi karena tidak ada burden sharing maka beban pembayaran bunga utang akan lebih besar," katanya.
Meski tren suku bunga obligasi tengah menurun, menurut dia, beban pembayaran bunga utang tetap akan membengkak tanpa burden sharing. Di negara lain terutama negara maju, penarikan utang di pasar tak membebani karena bunga mendekati nol.
"Berbeda dengan di Indonesia. Ini jadi isu yang seringkali dimanfaatkan oleh mereka yang tidak suka dengan pemerintah karena beban bunga utang sangat besar," katanya.
Berdasarkan data APBN Kita edisi Januari, pemerintah pada tahun lalu membayar bunga utang Rp 314,8 triliun. Ini lebih rendah dari yang dialokasikan pemerintah dalam APBN 2020 Rp 338,8 triliun, tetapi lebih besar dari realisasi belanja modal maupun belanja pegawai pemerintah pusat.
Dalam APBN 2021, pemerintah mengalolasikan pembayaran bunga utang sebesar Rp 314,1 triliun. Sementara target pembiayaan utang mencapai Rp 1.177,4 triliun, yang antara lain akan dipenuhi penerbitan SBN neto Rp 1.207,3 triliun.
Ekonom Institute Kajian Strategis Universitas Kebangsaan Eric Sugandi menjelaskan, skema burden sharing memang sebaiknya hanya sementara karena urgensi untuk mengatasi covid-19 dan memulihkan ekonomi. "Kalau terlalu lama dampaknya kurang baik terhadap kredibilitas BI dalam menjalankan kebijakan moneter secara independen," katanya.
Kebutuhan pembiayaan APBN pada tahun ini, menurut dia, tidak akan sulit dipenuhi dengan tingginya permintaan terhadap SUN. Sebagian besar permintaan akan datang dari perbankan karena mereka masih kesulitan menyalurkan kredit ke sektor riil seiring permintaan yang masih lemah.
Selain itu, aliran modal asing juga berpotensi mengalir deras ke Indonesia seiring berlimpahnya likuiditas global dan era suku bunga rendah negara maju.
"Pemenuhan kebutuhan pembiyaan defisit APBN kelihatannya bukan masalah utk tahun ini. Yield SUN yang rendah akan meringatkan beban pembayaran bunga utang pemerintah," ujarnya.
Namun, ia mengingatkan penerbitan utang saat ini tetap menjadi beban utang yang harus dibayarkan pada APBN pada tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, diversifikasi pembiayaan ke pinjaman multilateral dan bilateral yang bunganya lebih rendah dibandingkan penerbitan SBN tetap diperlukan.
"Selain itu, sebaiknya jangan terlalu agresif mengejar pembiayaan melalui SUN meski ada strategi front loading. Apalagu jikapenyerapan anggaran belanja di APBN masih lambat dan jangan sampai berutang yang tidak perlu," ujarnya.