RUU HKPD: Pemda Dapat Terbitkan Sukuk untuk Membiayai Pembangunan
Pemerintah berencana memperluas instrumen pembiayaan utang oleh pemerintah daerah, mencakup surat berharga syariah atau sukuk. Saat ini, instrumen pembiayaan utang oleh pemerintah daerah hanya mencakup pinjaman dan obligasi daerah.
Perluasan instrumen pembiayaan utang daerah ini diatur dalam Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD) yang tengah dibahas antara pemerintah dan DPR.
“Di dalam RUU HKPD akan diatur terbosan untuk memperluas pemanfaatan instrumen pembayaan utang daerah dengan menambah skema syariah, seperti sukuk,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI membahas RUU HKPD, Senin (13/9).
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah menyadari kebutuhan anggaran pembangunan pusat dan daerah melebihi penerimaan negara pada satu tahun anggaran. Untuk itu, daerah perlu diberikan kewenangan untuk memanfaatkan berbagai sumber pembiayaan yang ada.
Total anggaran pembangunan yang dibutuhkan pada 2020 hingga 2024 mencapai Rp 6.421 triliun. Sementara APBN dan APBD hanya mampu menyediakan 30% dari kebutuhan tersebut.
“Banyak Pemda yang masih menggantungkan sumber pendanaan dari APBN karena tidak ada kewajiban pengendalian,” katanya.
Ia mengatakan, daerah sebenarnya sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengelola instrumen pembiayaan dengan menarik pinjaman atau menerbitkan obligasi daerah melalui UU Nomor 33 Tahun 2004. Namun, pemanfaatan oleh daerah masih sangat terbatas.
Untuk itu, menurut Sri Mulyani, pemerintah juga akan menyederhanakan mekanisme pembiayaan utang daerah tanpa mempengaruhi sustainabilitas dan akuntabilitas keuangan daerah.
Pemerintah juga akan memberikan payung hukum sinergi pendanaan atas berbagai sumber pendanaan, seperti melalui kerja sama badan usaha antar daerah dan pemerintah pusat dalam RUU HKPD.
“Dengan kebijakan ini diharapkan daerah akan semakin inovatif dan kreatif dalam menerbitkan pembiayaan pembangunan,” katanya.
Kementerian Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2022 sebesar 0,32% terhadap PDB, turun dari tahun ini 0,34% terhadap PDB. Penurunan ini bersamaan dengan keputusan pemerintah memangkas target defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode yang sama menjadi 4,85%.
"Defisit APBD yang dimaksud merupakan defisit APBD yang dibiayai dari Pinjaman Daerah dan Pinjaman PEN Daerah." demikian bunyi pasal 2 ayat (2) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 117/PMK.07/2021 seperti dikutip Katadata.co.id, Senin (13/9).
Selain mengatur batas maksimal kumulatif defisit, besaran maksimal defisit APBD di semua kategori daerah juga diturunkan sebagaimana tertuang dalam pasal 3 beleid tersebut, sebagai berikut:
- Daerah dengan kapasitas fiskal sangat tinggi memiliki batas maksimal defisit APBD 5,3% dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2022.
- Daerah dengan kapasitas fiskal tinggi memiliki batas maksimal defisit APBD 5% dari perkiraan pendapatan daerahn tahun 2022.
- Daerah dengan kapasitas fiskal sedang memiliki batas maksimal defisit APBD 4,7% dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2022.
- Daerah dengan kapasitas fiskal rendah memiliki batas maksimal defisit APBD 4,4% dari perkiraan pendapatan daerahn tahun 2022.
- Daerah dengan kapasitas fiskal sangat rendah memiliki batas maksimal defisit APBD 4,1% dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2022
Sri Mulyani juga memberikan keringanan kepada pemerintah daerah untuk melampaui batas maksimal defisit APBD. Sesuai pasal 6 ayat (2), defisit APBD diperbolehkan melampaui batas maksimal dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan melalui Dirjen Perimbangan Keuangan.