IMF Peringatkan Krisis Gas Berpotensi Jerumuskan Eropa ke Resesi
IMF memperingatkan krisis energi yang terjadi akibat kekurangan gas di Eropa dapat menjerumuskan kawasan tersebut ke dalam resesi ekonomi. Lembaga ini juga melihat ketidakpastian global semakin meningkat dan berencana memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan perang Rusia di Ukraina telah menekan prospek perekonomian global. IMF akan memangkas proyeksinya pada tahun ini dan tahun depan.
Georgieva pada pekan lalu mengatakan kepada Reuters, akan memotong prediksi pertumbuhan ekonomi untuk kedua kalinya tahun ini dari perkiraan terakhir sebesar 3,6%. Ia juga melihat potensi resesi ekonomi pada tahun depan.
Georgieva mengatakan, perang menyebabkan tragedi kemanusiaan yang memburuk. uncangan komoditas terkait memperlambat pertumbuhan dan menaikkan harga, memperburuk krisis biaya hidup yang mengancam akan mendorong 71 juta orang lagi ke dalam kemiskinan ekstrem.
Sebagian besar bank sentral perlu terus memperketat kebijakan moneter secara tegas, terutama di negara-negara dengan ekspektasi inflasi yang mulai menurun. Tanpa langkah tegas, menurut Georgieva, negara-negara itu dapat menghadapi tekanan harga dan upay yang akan membutuhkan pengetatan moneter lebih kuat dan dapat membahayakan pertumbuhan dan lapangan kerja.
Pembuat kebijakan juga harus siap untuk menggunakan intervensi valuta asing atau langkah-langkah manajemen aliran modal. Guncangan eksternal dapat sangat mengganggu sehingga tidak dapat diserap oleh nilai tukar valuta asing yang fleksibel saja, tulis Georgieva.
Negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi harus mengurangi ketergantungan pada pinjaman mata uang asing dan mengurangi pengeluaran fiskal untuk mengurangi beban pinjaman yang semakin mahal.
Dia mengatakan, upaya mendesak juga diperlukan untuk mengurangi utang, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki kewajiban valuta asing yang tinggi. Ia mencatat bahwa sekitar 30% dari negara-negara pasar berkembang dan 60% dari negara-negara berpenghasilan rendah berisiko kesulitan dengan utangnya.