Ramalan Baru IMF: Ekonomi Global Lebih Suram, Dibayangi Risiko Resesi
Dana Moneter Internasional atau IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini dan tahun depan melihat kondisi global yang lebih suram. Lembaga ini juga memperingatkan lonjakan inflasi dan dampak perang Ukraina dapat mendorong ekonomi dunia jatuh ke jurang resesi jika tak ditangani dengan tepat.
Mengutip Reuters, IMF dalam outlook terbarunya yang dirilis Selasa (26/7) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari ramalan April sebesar 3,6% menjadi 3,2%. Proyeksi ekonomi global tahun depan juga dipangkas dari 3,6% menjadi 2,9%.
"Prospek telah menjadi gelap secara signifikan sejak April. Dunia mungkin saat ada di tepi resesi, hanya dua tahun setelah yang terakhir," kata Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam sebuah pernyataan.
IMF mengatakan perkiraan terbarunya "sangat tidak pasti" dan menyebut masih ada risiko penurunan ekonomi akibat perang Rusia di Ukraina yang meningkatkan harga energi dan pangan lebih tinggi. Kenaikan harga akibat perang memperburuk inflasi dan menanamkan ekspektasi inflasi jangka panjang yang akan mendorong pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut.
Di bawah skenario alternatif "masuk akal" yang mencakup penghentian total pasokan gas Rusia ke Eropa pada akhir tahun dan penurunan 30% lebih lanjut dalam ekspor minyak Rusia, IMF mengatakan pertumbuhan global akan melambat menjadi 2,6% pada 2022 dan 2%. pada 2023. Sementara, ekonomi Eropa dan Amerika Serikat tahun depan tak akan tumbuh mengacu pada skenario yang sama.
"Pertumbuhan global telah jatuh di bawah 2% hanya lima kali sejak 1970, termasuk resesi Covid-19 2020," kata IMF.
IMF kini memperkirakan tingkat inflasi 2022 di negara maju mencapai 6,6%, naik dari 5,7% pada perkiraan April. Lembaga ini menekankan bahwa inflasi tinggi akan bertahan lebih lama dari yang diantisipasi sebelumnya. Sementara itu, inflasi di pasar negara berkembang dan negara berkembang saat ini diperkirakan mencapai 9,5% pada 2022, naik dari 8,7% pada April.
"Inflasi pada level saat ini merupakan risiko yang jelas untuk stabilitas makroekonomi saat ini dan masa depan dan membawanya kembali ke target bank sentral harus menjadi prioritas utama bagi pembuat kebijakan," kata Gourinchas.
Pengetatan kebijakan moneter akan semakin memberikan pukulan pada tahun depan, yakni memperlambat ekonomi dan menekan negara-negara pasar berkembang. Namun, menurut IMF, bank sentral harus tetap berada di jalur pengetatan hingga inflasi menjinak karena menunda kebijakan ketat hanya akan memperburuk situasi.
Ekonomi Amerika dan Cina Lesu
IMF memperkirakan ekonomi Amerika tumbuh 2,3% pada tahun ini dan lebih lesu pada tahun depan dengan pertumbuhan 1%. Lembaga ini juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Cina dari 4,4% menjadi 3,3% akibat pembatasan untuk mencegah Covid-19 yang meluas di kota-kota besar dan membatasi produksi hingga menganggu rantai pasokan global. .
IMF juga mengatakan memburuknya krisis di sektor properti Cina menyeret turun penjualan dan investasi di real estate. Menurut lembaga ini, dukungan fiskal tambahan dari Beijing dapat meningkatkan prospek pertumbuhan, tetapi perlambatan berkelanjutan akibat pembatasan untuk mencegah penyebaran Covid-19 memiliki dampak yang lebih kuat.
IMF juga memangkas prospek pertumbuhan zona euro tahun ini menjadi 2,6% dari 2,8% pada April. Lembaga ini bahkan memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi beberapa negara lebih dalam, seperti Jerman yakni dari perkiraan April sebesar 2,1% menjadi 1,2%.
Lembaga ini melihat prospek ekonomi Italia lebih baik karena pariwisata dan kegiatan industri mulai meningkat. Namun, IMF mengatakan negara ini berpitensi mengalami resesi akibat kebijakan embargo gas Rusia.
Adapun ekonomi Rusia diperkirakan akan berkontraksi sebesar 6% pada tahun ini karena pengetatan sanksi keuangan dan energi Barat, dan turun lagi 3,5% pada 2023. Sementara itu, ekonomi Ukraina akan menyusut sekitar 45% karena perang, tetapi perkiraan ini datang dengan ketidakpastian yang ekstrem.