- Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2022 mencapai 5,44 % secara tahunan.
- Konsumsi rumah tangga dan kinerja ekspor memberikan sumbangan terbesar ke pertumbuhan ekonomi.
- Pemerintah optimistis Indonesia akan kembali tumbuh 5% di sisa tahun ini, jauh dari risiko resesi.
Pemerintah dapat bertepuk dada. Ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun ini berhasil tumbuh 5,44 % secara tahunan, sesuai ramalan dan harapan. Cerahnya perekonomian domestik di tiga bulan kedua tahun ini dicapai saat banyak negara menghadapi perlambatan ekonomi, bahkan masuk ke jurang resesi.
Konsumsi rumah tangga dan ekspor menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi sepanjang April-Juni di saat kinerja investasi melambat dan konsumsi pemerintah yang masih terkontraksi. Kinerja pertumbuhan pada kuartal kedua 2022 lebih tinggi dari realisasi triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 5,01 % secara tahunan.
"Pertumbuhan kita dalam tiga kuartal berada di atas 5 %. Ini menunjukan bahwa dengan pertumbuhan ini kita relatif lebih baik dibandingkan negara lain," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam diskusi dengan wartawan di Jakarta, Jumat (5/8).
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menyebut salah satu faktor yang menyebabkan kinerja ekonomi Indonesia masih kuat dibandingkan negara lain karena struktur ekonomi domestik yang ditopang konsumsi rumah tangga. Komponen ini menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) RI.
"Pembedanya, kalau Indonesia memang pemulihannya domestic driven dan kita baru mulai di tahun ini yang cukup kuat karena kasus Covid-19 sangat terkendali," kata Irman kepada Katadata.co.id
BPS mencatat konsumsi rumah tangga pada kuartal pertama tahun ini tumbuh 5,51%. Konsumsi rumah tangga memberikan sumbangan paling besar pada pertumbuhan ekonomi kuartal II mencapai 2,92%, naik dibandingkan kuartal sebelumnya 2,35% tetapi turun dibandingkan kuartal II 2021 3,19%.
Pertumbuhan ekonomi juga didorong oleh kinerja perdagangan yang impresif. BPS melaporkan, sumbangan net ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua mencapai 2,14%. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal I sebesar 0,77% dan kuartal II 2021 sebesar 0,95%.
Di sisi lain, andil inflasi atau pembentukan modal tetap bruto turun dari 1,33% pada kuartal I 2022 menjadi 0,9%. PMTB tumbuh melambat dari 4,09% menjadi 3,07%. Perlambatan terutama cukup signifikan dibandingkan kuartal II 2021 yang masih tumbuh 7,52% dan andil 2,3%.
BPS juga mencatat terjadi penurunan pada komponen konsumsi pemerintah 5,24% sehingga andilnya terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal II semakin menurun.
Menurut Irman, periode pemulihan Indonesia berbeda dibandingkan dengan negara maju yang sudah berlangsung sejak tahun lalu. Saat pemulihan menguat, permintaan naik, tekanan inflasi meningkat seperti yang terjadi saat ini. Lonjakan harga-harga membebani perekonomian negara-negara maju dan memicu peningkatan risiko resesi.
Selain itu, ekonomi dunia juga belum benar-benar melemah signifikan sepanjang paruh pertama tahun ini. Irman menyebut perlambatan baru akan signifikan pada semester II.
"Tapi kita lihat amunisi konsumsi dan investasi kita kuat, jadi seharusnya ekonomi masih bisa membaik," kata Irman.
Dampak perlambatan ekonomi global terhadap domestik kemungkinan baru akan terlihat pada kuartal terakhir. Ia beralasan, indikator dini pada kuartal ketiga masih mencerminkan kinerja positif, salah satunya dari sektor manufaktur.
Dampak dari perlambatan global, menurut dia, akan paling berdampak pada sisi penurunan ekspor. Koreksi di komponen perdagangan internasional ini bisa mendorong pertumbuhan kuartal keempati turun di bawah 5%. Di sisi lain, ia optimistis pertumbuhan kuartal III masih akan tumbuh kuat, bak mencapai 5,8% YOY.
Benarkan Ekonomi RI Berkinerja Baik?
Ekonomi RI terus tumbuh positif, setidaknya di level 5% selama tiga kuartal terakhir. Kinerja tersebut dicapai saat banyak negara lain justru dihadang risiko perlambatan, bahkan risiko jatuh ke jurang resesi.
Ekonomi AS resmi resesi setelah terkontraksi 0,9% pada kuartal kedua. Cina juga melambat, hanya tumbuh di 0,4% pada periode yang sama dari biasanya tumbuh lebih tinggi dari Indonesia. Ekonomi Korea Selatan juga sedikit melambat menjadi 2,9%. Hong Kong juga melambat menjadi hanya 1,4%.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut, faktor yang membedakan kinerja ekonomi RI dengan negara lain yakni berkah harga komoditas. Tren harga komoditas tinggi menjadi pendorong moncernya kinerja ekspor yang masih berhasil tumbuh dua digit pada kuartal kedua. Net ekspor memberi andil 2,14 poin persentase terhadap pertumbuhan 5,44% pada kuartal II.
"Kenaikan harga komoditas jadi berkah bagi Indonesia, sementara kalau bagi negara lain itu menjadi sebuah tantangan, seperti di AS yang kenaikan harga komoditas justru memicu inflasi," kata Rendy kepada Katadata.co.id
Berkah harga komoditas juga menjadi salah satu catatan BPS terkait kinclongnya kinerja ekonomi pada kuartal kedua tahun ini. Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono menjelaskan, harga komoditas mendorong kinerja neraca perdagangan yang surplus US$ 15,5 miliar, naik 148% dibandingkan kuartal sebelumnya. Sumbangan net ekspor pada kuartal kedua pun melonjak dibandingkan kuartal-kuartal sebelumnya.
Margo juga mencatat, langkah pemerintah menambah subsidi energi dan memberikan bantuan sosial juga berdampak positif pada ekonomi kuartal II. Subsidi energi membuat inflasi Indonesia, menurut Margo lebih terkendali dibandingkan banyak negara. Inflasi pada Juli tercatat sebesar 4,94%, jauh di bawah Amerika Serikat 9,1%, Inggris 8,2%, Korea Selatan 6,1%, dan Uni Eropa 9,6%.
Sementara itu, Ekonom senior yang juga Menteri Keuangan RI 2010-211 Chatib Basri menilai ada faktor keberuntungan dibalik kuatnya pertumbuhan ekonomi RI. "Dalam arti kita kurang terintegrasi dengan ekonomi global," kata Chatib dalam diskusi daring Rabu (3/8).
Ia menjelaskan, ekonomi Indonesia tidak terlalu banyak terhubung dengan ekonomi global, seperti Singapura maupun Australia. Jaringan produksi kedua negara tersebut benar-benar terkoneksi dengan global. Kondisi ini membuat pukulan kuat ekonomi dunia ke Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dua negara tersebut.
Di sisi lain, menurut dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia tak akan sekuat negara lain saat ekonomi global pulih. Ia mencontohkan ekonomi Singapura yang melonjak 7,6% pada tahun lalu setelah jatuh dalam tahun sebelumnya karena pemulihan global. Sedangkan ekonomi Indonesia pada tahun lalu hanya tumbuh 3,7%.
"Jika ingin semacam mengurangi efek limpahan negatif, kita beruntung karena ekonomi Indonesia kurang terintegrasi dengan global, tetapi ketika pemulihan datang, kita mungkin tertinggal," kata dia.