IMF Waspadai Risiko Resesi, Prospek Ekonomi 2023 Akan Dipangkas
Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan risiko resesi telah meningkat dengan kemungkinan outlook pertumbuhan dunia tahun depan akan dipangkas dari 2,9%.
Sepertiga ekonomi dunia diramal mengalami kontraksi dua kuartal beruntun. Tetapi IMF tidak secara gamblang menyebut negara-negara yang akan jatuh ke jurang resesi.
Tidak ada definisi yang resmi soal resesi termasuk yang dikeluarkan oleh IMF. Namun mayoritas ekonom dan pengamat mendefinisikan resesi sebagai kontraksi pada perekonomian selama dua kuartal beruntun.
"Kami memperkirakan bahwa negara-negara yang menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi dunia akan mengalami setidaknya dua kuartal berturut-turut kontraksi tahun ini atau tahun depan," kata Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam sebuah diskusi di Georgetown University, AS, Kamis (7/11).
Kondisi ekonomi akan terasa seperti resesi sekalipun beberapa negara masih berhasil tumbuh positif. Hal ini karena pendapatan riil telah menyusut dan harga-harga naik.
IMF juga memperingatkan bahwa resesi berkepanjangan bisa terjadi di banyak negara jika pengetatan moneter terlalu agresif dan terlalu cepat serta dilakukan bersamaan di seluruh negara. Beberapa bank sentral negara maju seperti AS, Eropa, Inggris, Kanada hingga Australia telah memperketat kebijakan moneternya demi memerangi inflasi.
IMF sebelumnya telah memangkas prospek pertumbuhan ekonomi dunia dalam laporan sebelumnya, yakni 3,2% untuk tahun ini dan tumbuh melambat ke 2,9% pada tahun depan. Namun Georgieva menyebut kantornya akan kembali memangkas prospek pertumbuhan khususnya untuk tahun depan.
Dengan berbagai risiko yang ada saat ini, IMF memperkirakan dunia akan mengalami kerugian sebesar US$ 4 triliun atau Rp 60,8 kuadriliun (kurs Rp 15.200/US$) selama empat tahun depan. Nilai ini setara dengan PDB Jerman, yang menandai kemunduran besar bagi perekonomian dunia.
"Tampaknya kondisi ekonomi akan lebih buruk ketimbang menjadi lebih baik. Ketidakpastian tetap sangat tinggi dalam konteks perang dan pandemi. Mungkin akan ada lebih banyak guncangan ekonomi," kata Georgieva.
Risiko stabilitas keuangan meningkatan. Pergerakan harga aset yang naik turun secara cepat meningkatkan kekhawatiran karena kondisi sebelumnya memang sudah rentan. Hutang di banyak negara juga meningkat, serta kekhawatiran terhadap likuiditas di segmen-segmen utama pasar keuangan.
Harga energi dan pangan yang tinggi, kondisi keuangan yang lebih ketat dan kendala pasokan yang masih ada memperlambat pertumbuhan. Semua ekonomi terbesar dunia sedang melambat.
Zona Euro sangat terpengaruh oleh pengurangan pasokan gas dari Rusia. Cina menderita gangguan terkait pandemi dan penurunan yang semakin dalam di pasar propertinya. Perlambatan di Amerika Serikat juga sedang berlangsung, yang disebabkan konsumsi tertekan oleh inflasi, dan suku bunga yang lebih tinggi menghambat investasi.
"Hal ini pada gilirannya mempengaruhi negara-negara berkembang karena mereka menghadapi penurunan permintaan untuk ekspor, dan banyak yang merasakan tekanan berat dari harga makanan dan energi yang tinggi," kata Georgieva.