Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diprediksi bangkit pada pekan depan setelah terus mengalami koreksi sepanjang minggu ini.
Awal pekan lalu, pasar sempat menguat setelah Komisi Kesehatan Nasional Tiongkok melaporkan tambahan kasus baru virus corona dengan tren melambat. Menurut Hans, hal tersebut menimbulkan optimisme bahwa penyebaran virus yang dikenal dengan COVID-19 sudah mulai mampu diatasi.
"Data penyebaran virus corona belum mengonfirmasi puncak dari kasus yang terjadi, tetapi kami menilai pasar pekan depan akan rebound mengingat penurunan yang hampir terjadi setiap hari di bursa kita selama sepekan ini dan pasar global mulai memberikan tanda-tanda kenaikan," kata Direktur PT Anugerah Mega Investama dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu.
Selain itu, otoritas Tiongkok juga mengambil berbagai langkah kebijakan untuk menahan penurunan ekonomi negara tersebut akibat virus corona. Pabrik-pabrik juga mulai dibuka kembali meskipun banyak juga yang masih menunda operasi akibat wabah.
Tetapi di tengah pekan, Tiongkok mengkonfirmasi telah terjadi 15.152 kasus baru dan 254 kematian tambahan yang membuat total korban meninggal menjadi 1.367 jiwa, dan jumlah orang yang terinfeksi virus COVID-19 naik banyak hampir 60.000 orang.
(Baca: Korban Tewas Corona Jadi 1.523, Tiongkok Kecam Reaksi Berlebihan Dunia)
"Jumlah kasus baru bisa meningkat banyak karena Otoritas kesehatan di Provinsi Hubei telah mengubah metode pelaporan kasus. Hal ini membuat kekhawatiran kembali memuncak di bursa global dan regional," ujar Hans.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan jenis virus corona yang baru itu "jelas lebih berdampak" pada ekonomi dunia ketimbang epidemi SARS 2002-2003.
Dampak ekonomi virus COVID-19 sangat besar terhadap ekonomi global karena Tiongkok berkontribusi 17% terhadap ekonomi global. Pada kasus wabah SARS 2002-2003 ekonomi China hanya berkontribusi sekitar 4% terhadap ekonomi global, atau telah terjadi kenaikan empat kali lipat lebih.
Peneliti untuk pemerintah Tiongkok menyatakan bahwa wabah virus COVID-19 diperkirakan dapat mengurangi 1% tingkat pertumbuhan ekonomi negara China di 2020. S&P Global Ratings telah menurunkan perkiraan pertumbuhan Tiongkok di tahun 2020 dari sebelumnya 5,7% menjadi 5% akibat wabah virus COVID-19.
"Dampak ekonomi dari virus corona akan sangat diperhatikan pelaku pasar dan menjadi tekanan bagi pasar keuangan dunia bila wabah korona belum dapat ditanggulangi," kata Hans.
(Baca: Anjlok 6,48% Sejak Awal Tahun, Begini Prediksi IHSG Hingga Akhir 2020)
Mengingat cukup banyak produk yang Indonesia beli dari Tiongkok, maka dampak virus COVID-19 akan punya pengaruh pada perekonomian domestik. Penasihat kesehatan Tiongkok menyatakan bahwa wabah virus COVID-19 diperkirakan akan segera mencapai puncaknya dan diperkirakan akan berakhir pada April mendatang.
"Kami perkirakan ketika wabah virus korona mencapai puncak dan mulai turun itulah waktu pasar keuangan dunia kembali akan menguat," ujarnya.
Sempat menunjukkan tren penguatan di awal pekan, tetapi perubahan metode perhitungan telah mengubah tren tersebut. Tetapi pernyataan WHO yang mengkhawatirkan jumlah kasus Virus COVID-19 di luar Tiongkok mungkin merupakan fenomena "puncak gunung es" juga menjadi perhatian pasar. Penanggulangan perlu dilakukan di seluruh dunia sehingga tidak mengurangi aktifitas ekonomi.
Data FactSet menunjukkan sekitar 77% emiten dalam Indeks S&P 500 telah melaporkan kinerja keuangan. Dari data itu sebanyak 72% memberikan kinerja lebih baik dari perkiraan para analis. Hal itu menjadi sentimen positif bagi pasar.
Dari dalam negeri, pekan ini pasar juga terpengaruh oleh berita simpang siur terkait permintaan "roll over" oleh beberapa perusahaan asuransi. Beberapa tulisan menunjukan permintaan perusahaan kepada pihak pemasar agar nasabah melakukan "roll over" selama enam bulan ke depan dan tidak dapat melakukan pencairan dana biarpun sudah jatuh tempo.
(Baca: Tekan Dampak Negatif Corona, Kadin Dorong Diversifikasi Pasar Ekspor)
Beberapa alasan dikemukakan tetapi salah satunya akibat "rush" oleh pihak nasabah. Tetapi berita ini sudah dibantah oleh pihak perusahaan terkait.
Hans menilai, para pelaku pasar khususnya nasabah perusahaan asuransi terkait sebaiknya tetap tenang karena aksi "rush" serentak dan besar akan menimbulkan masalah. Perusahaan keuangan yang menghimpun dana masayarakat apapun bila di-rush tentu akan mengalami masalah biarpun diawalnya perusahaan tersebut sangat sehat.
"Bila terjadi rush perusahan terpaksa menjual aset atau surat berharga dalam portofolio dengan cepat. Dan bila terjadi di kondisi pasar yang tidak baik atau kondusif seperti sekrang ini akan menyebakan penurunan harga aset atau surat berharga yang di jual. Dan ini menimbulkan kerugian bagi perusahaan, nasabah dan industri keuangan," kata Hans.