Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merilis Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2017 (IHPS). Salah satu hasilnya yaitu menemukan fakta bahwa salah satu rute penerbangan yang dilakukan oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menyumbang kerugian terbesar pada kinerja keuangan maskapai milik negara tersebut pada tahun 2016 lalu.
Dalam hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan bahwa kinerja penerbangan internasional milik Garuda belum sesuai dengan target yang diharapkan. Terdapat 28 rute penerbangan internasional yang dilayani belum memberikan keuntungan bagi perusahaan. Adapun, yang paling banyak menyumbang kerugian bagi Garuda adalah rute Jakarta-Singapura-London-Jakarta.
"Akibatnya, penerbangan rute CGK-SIN-LHR-CGK memberikan kontribusi kerugian bagi perusahaan terbesar dibanding rute-rute yang lain sejak dibuka Maret 2016 - Juli 2016 senilai US$ 16,43 juta," mengutip dari IHPS yang disampaikan BPK, Jakarta, Rabu (4/10).
Selain itu, BPK juga menilai performa rute destinasi Area Internasional 3 yang meliputi region China dan Taiwan kurang optimal dan evaluasi rute yang dibuat unit Strategy and Business Development belum memberikan perbaikan yang signifikan bagi perusahaan.
(Baca: September, Anak Usaha Garuda Lepas 15-30 Persen Saham ke Publik)
BPK melihat, hal ini terjadi karena proses perencanaan dan evaluasi rute masih memiliki kelemahan dan slot yang dimiliki Garuda pada rute penerbangan internasional bukan merupakan slot terbaik, sehingga ada keterbatasan untuk mencapai kinerja optimal.
Namun, pada kegiatan pemeliharaan pesawat, hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan hal tersebut sudah cukup efisien. Tetapi, masih ada beberapa permasalahan yang harus dibenahi terkait dengan pemeliharaan pesawat.
Pertama, perjanjian pemeliharaan pesawat antara PT Garuda Maintenance Facility (GMF) Aeroasia dan pelanggan tidak secara optimal menjamin pemenuhan hak dan kewajiban para pihak, sehingga berpotensi mengganggu cash flow GMF.
GMF juga berpotensi kehilangan pendapatan atas denda keterlambatan pembayaran dari Garuda dan time and material basis (TMB) Citilink, serta berpotensi mengalami kesulitan cash flow karena waktu pembayaran yang relatif lama dari pelanggan.
Kedua, pemeliharaan pesawat udara milik Garuda dan Citilink oleh GMF belum sepenuhnya mencapai target Service Level Agreement (SLA) yang disepakati, sehingga GMF berpotensi didenda senilai US$ 2,06 juta untuk serviceability dan US$ 204,32 ribu untuk Dispatch Reliability.
Hal tersebut mengakibatkan GMF berpotensi dikenakan denda atas dak tercapainya serviceability pesawat Garuda senilai US$ 2,03 juta dan pesawat Citilink senilai US$ 30,66 ribu serta dispatch reliability pesawat Garuda senilai US$ 204,32 ribu yang dapat membebani perusahaan.
Menyikapi hal tersebut, Manajemen Garuda menjelaskan bahwa memang tidak semua rute dirancang untuk memberikan keuntungan, tetapi tetap diterbangkan selama bisa meng-cover sebagian dari fleet cost yang merupakan komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh maskapai.
"Jika pesawat tersebut diterbangkan akan memberikan kerugian lebih sedikit daripada pesawat tersebut dak diterbangkan, sedangkan untuk rute destinasi China yang belum optimal dapat dijelaskan bahwa jadwal penerbangan CGK-BJS-CGK menyesuaikan ketersediaan slot di Beijing," ujar Manajemen Garuda.
Kemudian, terhadap permasalahan pemeliharaan pesawat, Direktur Utama GMF menyatakan sependapat bahwa denda belum diterapkan secara konsisten terkait dengan keterlambatan pembayaran oleh Garuda dan Citilink. Namun, GMF masih belum bisa memastikan besaran nilai denda yang harus ditagihkan ke dua maskapai tersebut.
Sedangkan, terhadap kegiatan pemeliharaan pesawat yang belum memenuhi SLA, Direksi PT GMF menyatakan sependapat bahwa adanya SLA yang tidak tercapai pada bulan-bulan tertentu di tahun 2015 dan 2016. Namun, GMF selalu mengadakan perbaikan dalam pencapaian performa dan berupaya supaya mekanisme pengendalian dan evaluasi key performance indikator (KPI ) GMF dijalankan dengan semestinya.