Pengaturan Reklamasi Jakarta Lewat Perpres Dinilai Langgar Hukum

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Seorang warga berjoget saat menghadiri kampanye tolak reklamasi di Jakarta Utara, Rabu (8/2/2017).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
18/4/2018, 19.06 WIB

Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) menilai rencana melanjutkan pembangunan proyek reklamasi Jakarta melalui revisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) melanggar ketentuan pemanfaatan ruang dan sumber daya pesisir dan laut.

Alasannya, pengelolaan ruang pesisir dan laut sudah diatur secara khusus melalui Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, Perpres Nomor 54 Tahun 2008 seharusnya tidak mengatur soal pemanfaatan ruang pesisir laut karena merupakan aturan turunan dari UU Nomor 26 Tahun 2007. Regulasi tersebut dinilai hanya mengatur ruang daratan.

Selain itu, Perpres tersebut juga tak dapat mengatur pemanfaatan pesisir karena tidak mengenali rezim khusus mengenai penataan zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil.

"Perpres Nomor 54 Tahun 2008 juga tidak mengenali pelaku perikanan skala kecil yaitu nelayan tradisional skala kecil," kata Marthin dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata.co.id, Rabu (18/4).

(Baca juga: Reklamasi Jakarta Akan Diatur Lewat Revisi Perpres Jabodetabekpunjur)

Marthin mengatakan, seharusnya pemerintah pusat segera fokus menerbitkan perencanaan ruang laut yang meliputi tiga hal, yakni perencanaan tata ruang laut nasional, perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta perencanaan zonasi kawasan laut. Hanya saja, hingga hari ini pemerintah belum juga menerbitkan perencanaan tersebut melalui Peraturan Pemerintah.

"Merujuk kepada Pasal 73 UU Nomor 32 Tahun 2014 menegaskan Peraturan pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2014 harus telah ditetapkan paling lambat dua tahun setelah berlaku. Namun hingga hari ini belum juga diterbitkan dan ditandatangani Presiden Joko Widodo," kata Marthin.

Adapun, rencana untuk mengabaikan Perda tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZPW3K) dengan adanya pembentukan Perpres tersebut dinilai keliru. Sebab, RZPW3K merupakan mandat dari UU Nomor 1 Tahun 2014 yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.

(Baca: Tarik Dua Raperda, Anies Dinilai Serius Hentikan Reklamasi Jakarta)

Hal tersebut pun ditegaskan dengan adanya surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong percepatan penetapan RZWP3K. Marthin menilai hal itu menunjukkan bahwa RZWP3K digunakan karena berbeda dengan rezim pengaturan Rencana Tata Ruang Wilayah yang lebih mengarah kepada pemanfaatan daratan pulau utama.

Marthin menilai jika revisi Perpres tersebut tetap dilakukan akan berdampak pada pelanggaran hak asasi dari lebih dari 25 ribu nelayan tradisional skala kecil.

"Pemerintah harus paham bahwa nelayan tradisional skala kecil berperan strategis baik bagi produsen pangan skala kecil hingga secara sosio-ekonomis penting dalam pengelolaan perikanan," kata Marthin.