Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempertimbangkan kebijakan agar investor bisa memilih dua skema kontrak bagi hasil minyak dan gas (migas) yakni gross split atau cost recovery. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan investasi.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, kementeriannya sudah berdiskusi dengan para investor terkait pilihan skema bagi hasil. “Kami memikirkan demikian. Jika fleksibilitas itu ada, sehingga memang daya tarik untuk investasi di situ lebih baik," kata dia di Gedung DPR RI, Rabu (27/11).
Saat ini, pemerintah mewajibkan perusahaan migas menggunakan skema gross split. Jika kebijakan ini jadi diterapkan, investor bisa memilih skema bagi hasil.
Arifin pun bakal merevisi aturan mengenai kontrak bagi hasil migas yang mewajibkan kontraktor menggunakan skema gross split. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split pada 29 Agustus 2017.
(Baca: Menteri Arifin Pertahankan Skema Bagi Hasil Gross Split)
Namun, Arifin tidak merinci apakah fleksibilitas memilih skema itu berlaku untuk blok migas kontrak baru atau terminasi yang habis kontrak. Ia hanya mengatakan, dua skema tersebut mempunyai nilai lebih masing-masing.
Sepengetahuan Arifin, investor yang mengeksplorasi wilayah kerja baru dengan tingkat risiko tinggi biasanya memilih menggunakan skema cost recovery. Namun ada juga investor yang sejak awal lebih senang menerapkan skema gross split karena memberikan kepastian investasi di awal.
"Kalau gross split biasanya orang senang yang sudah pasti. Kalau risikonya tinggi, itu lebih yang cost recovery," kata Arifin.
(Baca: Negosiasi Alot Pemilihan Skema Bagi Hasil Migas Blok NSB)
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro sempat menyarankan agar pemerintah memberikan keleluasaan kepada investor dalam memilih skema sesuai keekonomiannya. Ia menilai skema cost recovery dan gross split memiliki kelebihan dan kekurangann masing-masing.
"Jadikan gross split sebagai opsi saja, jangan mandatori. Pemerintah harus berpikir bahwa yang penting proyek berjalan. Percuma mencari bagi hasil besar, jika proyek tidak jalan," kata komaidi.
Kritik terhadap skema gross split juga pernah disampaikan oleh Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Pengusaha Migas Nasional (Aspermigas) Arifin Panigoro. Dirinya meminta pemerintah mengevaluasi penerapan skema gross split. Pasalnya, skema ini dianggap tak menarik bagi investor migas.
"Saya kira sistem itu harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang tidak akan tertarik. Bagaimana bisa menaikkan produksi?" kata Arifin di Jakarta, Oktober lalu.
(Baca: BP Terbuka Berinvestasi Migas dengan Skema Gross Split)