Asosiasi Smelter Tolak Pembentukan Indeks Nikel Indonesia

Katadata
Ilustrasi bijih nikel
5/7/2019, 17.07 WIB

Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I) menolak pembentukan indeks nikel Indonesia (INI).  Penambang menginginkan indeks tersebut sebagai patokan harga jual bijih nikel ke pemilik pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).

Salah satu pendiri AP3I Jonathan Handojoyo mengatakan bahwa pihaknya lebih menyetujui bila harga bijih nikel disepakati dengan skema bisnis ke bisnis antara penjual dan pembeli. Menurutnya, selama ini pun pemilik smelter membeli nikel ore dengan harga yang sesuai dengan pasar dunia, dan hitungan ongkos kirim.

"Siapa yang mau beli bahan baku yang tetap tinggi, sedangkan harga nikel dunia naik turun. Semua smelter umumnya sangat sopan. Kalau lagi naik juga langsung mengikuti (harga)," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (5/7).

Sebelumnya, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yunus Saefulhak menyatakan dukungannya untuk pembentukan indeks nikel. Alasannya, selama ini harga bijih nikel di domestik masih memiliki masalah.

(Baca: Rampung 98%, Smelter Nikel Wanatiara Ditarget Beroperasi Desember 2019)

Meski sudah ada Harga Patokan Mineral (HPM), tapi produsen kerap membeli nikel dengan harga di bawah HPM. Hal ini disebabkan oleh cadangan nikel yang tinggi, sedangkan kapasitas serapan nikel untuk smelter masih rendah.

"Sebenarnya tidak boleh terjadi seperti itu. Harus ada harga yang wajar sesuai dengan biaya penambangan. Jadi penambang bisa tetap hidup," kata dia, Kamis (4/7).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin mengatakan dengan skema bisnis ke bisnis untuk jual-beli nikel seperti saat ini, posisi pengusaha smelter jadi lebih kuat dari penambang. "Suka-suka smelter. Kalau tidak mau suplai, ambil dari produsen lain," kata dia.

Ia membeberkan biaya produksi bijih nikel dihitung sebesar US$ 16,7 per ton. Untuk HPM free on board (FOB) pada Juni 2019 dengan kadar nikel 1,7% sebesar U$ 26,66 wet metrik ton (wmt). Sedangkan harga domestik FOB tongkang di domestik sebesar US$ 15 per wmt, untuk ekspor FOB kapal harganya US$ 30 per wmt.

Sementara itu, dengan kadar nikel 1,8% HPM FOB pada Juni sebesar US$ 29,80 per wmt, dan FOB tongkang di domestik sebesar US$ 18 per wmt. Untuk kadar 1,9% FOB HPM Juni sebesar US$ 33,11, dan FOB tongkang di domestik sebesar US$ 21 wmt.

(Baca: Lima Bulan Pertama 2019, Penjualan Bijih Nikel Antam Naik Nyaris 100%)