SKK Migas: Investor Masih Ragu Berinvestasi di Indonesia

ANTARA FOTO/Humas Kementerian ESDM
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) yang baru Dwi Soetjipto (kanan) melakukan sumpah jabatan ketika prosesi pelantikan sebagai Kepala SKK Migas oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan di Gedung Kementerian ESDM Jakarta, Senin (3/12/2018).
Editor: Sorta Tobing
27/3/2019, 12.27 WIB

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, pelaku usaha migas saat ini masih ragu berinvestasi di Indonesia. Transformasi regulasi yang sedang terjadi menimbulkan ketidakpastian aturan.

Menurut Dwi, banyak investor yang bingung. Mereka belum memahami perubahan skema kontrak dari cost recovery (pengembalian biaya operasi) menjadi gross split. Dalam skema baru itu bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor diperhitungkan di muka.

Pemerintah juga sedang mempersiapkan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang migas. “Investasinya penuh risiko, regulasinya berubah-ubah, jadi tambah bingung,” kata Dwi, di Jakarta, Selasa malam (27/3).

Investor butuh kepastian karena biaya pengeboran migas membutuhkan uang yang tidak sedikit. Dwi mengatakan, untuk di darat dananya sekitar US$ 2 miliar sampai US$ 4 miliar. Kalau di laut, nilainya bertambah lagi menjadi US$ 10 miliar sampai US$ 20 miliar. "Biayanya tinggi, tapi belum jelas hasilnya," ujarnya.

(Baca: SKK Migas Fokus Kembangkan 10 Area Migas Potensial Raksasa)

Namun, Dwi optimistis setelah revisi rencana pengembangan (PoD) Blok Masela disetujui oleh pemerintah, minat investor akan kembali lagi. Ia melihat potensi migas Indonesia masih besar. Ada 128 cekungan migas, baru 54 yang dikembangkan.

Nilai investasi hulu migas Indonesia pada 2017 mencapai US$ 9,33 miliar. Jumlah tersebut terdiri dari US$ 9,18 miliar untuk Wilayah Kerja (WK) eksploitasi dan US$ 180 juta Wilayah Kerja (WK) eksplorasi. Realisasinya di 2018 menjadi US$ 12,5 miliar. Walaupun naik sekitar 34% dibanding tahun sebelumnya tapi angka itu tak mencapai target US$ 17,04 miliar.

Pengembangan Blok Masela

Pemerintah masih berdiskusi dengan Inpex Coorporation terkait draf revisi rencana pengembangan Blok Masela. Poin utama yang didiskusikan yakni soal biaya pengembangan.

Dwi sebelumnya mengatakan, biaya pengembangan memengaruhi keekonomian, serta butuh atau tidak pemerintah memberi insentif. “Kemudian, splitnya harus bagaimana untuk bisa ke tingkat keekonomian," ujarnya pada Senin lalu.

(Baca: SKK Migas Gandeng Pihak Independen Susun Proposal Pengembangan Masela)

Menurut dia, bila biaya pengembangan terlalu besar, pemerintah tidak bisa memberikan insentif yang tinggi. Insentif yang dimaksud bisa berupa keringanan pajak hingga bagi hasil yang lebih besar kepada investor. “Sewajarnya saja," ujarnya.

Dwi memastikan pengembangan Blok Masela tetap menggunakan skema kilang darat (onshore). Pemerintah meyakini biaya pengembangan dengan skema ini lebih murah dibandingkan skema laut (offshore). Skema darat juga dipilih lantaran pemerintah mengharapkan adanya dampak berganda ke perekonomian masyarakat.

Reporter: Fariha Sulmaihati