Emiten pertambangan, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) mencatatkan laba bersih pada tahun lalu sebesar US$ 417 juta. Laba bersih ini turun 13,6% dibanding periode 2017 sebesar US$ 483 juta atau sekitar Rp 6,8 triliun. Penurunan terjadi akibat lonjakan beban perusahaan, salah satunya biaya akuisisi tambang batu bara Kestrel di Australia.

Berdasarkan laporan keuangan perusahaan,  pada 2018  Adaro sempat mencetak pendapatan sebesar US$ 3,61 miliar. Pendapatan tersebut tumbuh  12,5% dari periode 2017 sebesar US$ 3,25 miliar antara lain disebabkan oleh meningkatnya harga jual rata-rata batu bara perusahaan sebesar 5%. Selain itu,  perseroan juga mencatat kenaikan produksi batu bara sebesar 4% menjadi 54,04 metrik ton (MT) pada tahun lalu.

(Baca: Penjualan Batu Bara Adaro Meningkat Ditopang Pasar Ekspor)

Meski demikian, meningkatnya pendapatan perseroan juga diikuti dengan melonjaknya komponen beban. Pada tahun lalu, beban pokok pendapatan Adaro meningkat 14%  menjadi US$ 2,41 miliar dari sebelumnya US$ 2,12 miliar disebabkan kenaikan nisbah kupas, volume, Harga Bahan Bakar (BBM), maupun pembayaran royalti kepada pemerintah sering dengan kenaikan harga jual rata-rata.

Perusahaan mencatat, nisbah kupas rata-rata Adaro per 2018 mencapai 5,06 kali atau lebih tinggi dibanding 2017 yaitu 4,61 kali. Peningkatan ini disebabkan karena kondisi cuaca yang baik pada kuartal tiga 2018. Adapun, konsumsi BBM naik 15%, sehingga adanya peningkatan iaya sebesar 40%, karena adanya peningkatan operasional.

Sementara royalti yang dibayarkan kepada pemerintah pada tahun lalu juga naik 9% menjadi US$ 387 juta, dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar US$ 343 juta pada 2018.

Di sisi lain, beban usaha perusahaan juga naik 6% menjadi US$194 juta pada 2018 dibandingkan US$184 juta pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Ini terutama karena kenaikan komisi penjualan dan biaya karyawan seiring ekspansi perusahaan sehingga akhirnya turut menekan perolehan laba perusahaan. 

(Baca: Akuisisi Tambang Kestrel, Adaro Dapat Pinjaman US$ 1,57 Miliar)

Sejalan dengan turunnya kinerja laba, aset lancar Adaro juga tercatat turun 19% menjadi US$ 1,6 miliar. Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Febriati Nadira menjelaskan penurunan ini terutama diakibatkan oleh penurunan saldo kas  sebesar 23% karena pembiayaan porsi ekuitas Adaro atas Kestrel.

"Karena adanya penurunan, dan biaya terkait akusisi Kestrel," kata Nadira, kepada Katadata.co.id, Selasa (5/2).

Pada  1 Agustus 2018, Adaro bersama dengan EMR Capital Limited mengakuisisi 80% kepemilikan atas Kestrel Coal Mine (Kestrel) melalui Kestrel Coal Resources Pty Ltd. Sisa porsi kepemilikan atas Kestrel sebesar 20% dimiliki oleh Mitsui Coal Australia. 

Target 2019

Kendati masih diliputi sejumlah tantangan, perusahaan masih optimistis tahun mampu mencetak kinerja lebih baik. Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Adaro Energy Garibaldi Thohir mengatakan, pada tahun ini perusahaan menargetkan produksi batu bara sekitar 54-56 MT dengan nisbah kupas konsolidasi 4,56x. Selain itu, untuk EBIDTA operasional tahun ini ditargetkan sebesar US$ 1 miliar - US$ 1,2 miliar, dengan alokasi belanja modal sebesar US$ 450- US$ 600 juta. 

(Baca: Adaro dan Kideco Kaji Teknologi Hilirisasi Batu Bara)

"Kami menyadari karakteristik pasar batu bara yang siklikal. Perusahan akan mewaspadai terhadap tantangan yang ada di pasar dan memperhitungkan hal-hal ini dalam menetapkan panduan tahun 2019,"  kata Garibaldi Thohir  dalam keterangan resmi, Selasa (5/2). 

Pihaknya berupaya mencapai target dengan terus berfokus pada keunggulan dan efisiensi operasional perusahaan. Di sisi lain, akuisisi tambang batu bara Kestrel diharapkan bisa semakin meningkatkan portofolio produk dan membuka sejumlah peluang bagi perusahaan.  perusahaan. 

Reporter: Fariha Sulmaihati