Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkap dua upaya untuk menurunkan impor minyak dan gas bumi (migas). Ini karena impor migas dinilai sebagai penyebab neraca perdagangan defisit. Ujungnya, neraca transaksi berjalan pun defisit.
Upaya pertama yang bisa dilakukan adalah konversi batu bara menjadi gas (dimethylether/DME) dengan teknologi. DME ini bisa mengganti elpiji, sehingga bisa menekan impor. Apalagi 70% elpiji masih berasal dari impor. Adapun, konsumsinya sebesar 6,8 juta metrik ton.
Saat ini, PT pertamina (Persero) dan PT Bukit Asam Tbk akan membangun proyek gasifikasi batu bara di mulut tambang batu bara Peranap, Riau. Proyek ini akan beroperasi paling cepat 2021 mendatang.
"Impor elpiji kita setahun itu kira-kira US$ 3 miliar atau setara Rp 5 triliun. Jadi ini yang akan kami dorong," kata Jonan di dalam Pertamina Energy Forum di Jakarta, Kamis (29/11).
Upaya kedua, mendorong pemakaian mobil listrik. Penggunaan mobil listrik ini bisa mengurangi impor BBM. Bahan bakar mobil listrik akan menggunakan sumber energi lain seperti gas atau batu bara, atau energi terbarukan.
Jika mobil listrik tidak berjalan, Jonan memprediksi tahun 2025 impor BBM akan mencapai 1 juta barel per hari. Saat ini impor BBM mencapai 400 ribu barel per hari. Sementara itu menurut Jonan sat ini konsumsi BBM sebesar 1,3 juta bph. "Ini tantangan. Tidak usah debat diskusi panjang," kata Jonan.
Meski begitu, Jonan tak menampik ada beberapa kendala dalam mengembangkan kendaraan listrik. Salah satunya faktor harga yang masih mahal. Untuk mobil listrik hasil impor harganya sekitar Rp 5,5 miliar per unit.
Untuk itu pemerintah masih mendiskusikan untuk mencari solusi agar program mobil listrik bisa berkembang nantinya. "Gaji saya nggak cukup untuk beli mobil listrik. Ini yang musti ditanyakan, serius atau tidak membangun mobil listrik," kata Jonan.
(Baca: Gaikindo Khawatir Pengembangan Mobil Listrik Matikan Industri Otomotif)
Sebagai informasi, kinerja neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar US$ 10,74 miliar dalam 10 bulan pertama tahun ini. Hal ini turut berkontribusi terhadap melebarnya defisit neraca dagang Januari-Oktober 2018 sebesar US$ 5,51 miliar atau setara Rp 82,72 triliun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya surplus US$ 11,86 miliar. Penyebab defisit tersebut lantaran impor migas yang besar.