Dirjen Migas Ungkap Penyebab Lifting Chevron dan Pertamina Rendah

humasskkmigas.wordpress.com
Penulis: Rizky Alika
18/9/2018, 19.21 WIB

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengungkapkan beberapa penyebab rendahnya produksi siap jual (lifting) migas PT Pertamina (Persero). Ini menjawab pertanyaan Anggota Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi PDIP Daniel Lumban Tobing, dalam rapat yang berlangsung Selasa (18/9).   

Berdasarkan data SKK Migas, hingga 31 Agustus 2018, produksi siap jual (lifting) minyak grup PT Pertamina (Persero) memang masih di bawah target. Bahkan, sampai akhir tahun diprediksi tidak akan mencapai target.

Lifting minyak bumi PT Pertamina EP hingga akhir tahun hanya 91% dari target yakni 77,8 ribu barel per hari (bph). Kemudian, PT Pertamina Hulu Mahakam sebesar 42,7 ribu bph atau 89% dari target. Pertamina Hulu Energi ONWJ Ltd hanya 29,3 ribu bph atau 89% target.

Tak hanya Pertamina yang menjadi sorotan. Capaian lifting Chevron juga menjadi perhatian Daniel. PT Chevron Pacific Indonesia sampai akhir tahun diperkirakan hanya 97% dari target yakni 207,8 ribu bph.

“Ketika saya lihat profil lifting di outlook 2018 ternyata yang tidak mencapai target yaitu Pertamina. Ini penyebabnya apa. Chevron juga dikatakan 97%,” ujar Daniel.

Menjawab pertanyaan tersebut, Djoko mengatakan lifting Chevron turun karena umur produksinya sudah tua. Sehingga ada penurunan produksi secara alamiah.

Selain itu, kontrak Chevron Pacific Indonesia akan berakhir 2021 dan tidak diperpanjang. Sehingga, perusahaan asal Amerika Serikat itu mengurangi investasinya dan tidak ada eksplorasi lagi.

Untuk kasus Pertamina, produksi rendah karena lapangannya sudah tua, bahkan ada yang sejak zaman Belanda. Penyebab lainnya adalah kurang agresifnya Pertamina dalam eksplorasi. Bahkan perusahaan milik negara itu tidak pernah mengikuti lelang yang digelar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Yang paling penting itu Pertamina kurang agresif dalam lakukan eksplorasi,” ujar Djoko.

Pertamina dinilai lebih suka berinvestasi di luar negeri. Padahal investasi itu belum tentu berhasil, seperti ketika mengakuisisi hak kelola ROC Oil Company Ltd. di lapangan Basker Manta Gummy (BMG), Australia pada 2009 silam. Pertamina sudah menghabiskan US$ 1,8 juta, tapi setahun kemudian tutup.

Untuk itu, Kementerian ESDM mendorong Pertamina berinvestasi di dalam negeri. “Jangan senangnya hanya lapangan tua karena biayanya sudah diklaim,” ujar Djoko.

Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan selama tahun 2018, perusahaanya telah secara aktif melakukan upaya penemuan cadangan dan peningkatan produksi migas. Di bidang eksplorasi, saat ini Pertamina mencatat telah menyelesaikan seismik 2D (dua dimensi) sepanjang 153 km. Hingga akhir 2018, diproyeksikan sepanjang 2.590 km.

(Baca: Realisasi Pengeboran Sumur Eksplorasi Migas di Bawah Target)

Selanjutnya, untuk seismik 3D Pertamina telah melakukan seismik 3D seluas 419 Km2 dan diproyeksikan sampai dengan tahun 2018 seluas 869 Km2. Kegiatan seismik 2D dan 3D tersebut dilaksanakan di sejumlah wilayah kerja Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energi.

Selain seismik, Pertamina telah menyelesaikan pemboran tujuh sumur eksplorasi. “Hingga akhir 2018 diproyeksikan sebanyak 17 sumur,” ujar dia.

Reporter: Anggita Rezki Amelia