PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terancam bangkrut bila rencana pencabutan harga khusus batu bara untuk domestik (domestic market obligation/DMO) jadi dilaksanakan. Ini karena beban keuangan perusahaan milik negara itu akan semakin besar.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan 50 hingga 60 % pembangkit PLN menggunakan batu bara. Jadi, jika kebijakan harga khusus dicabut, perusahaan setrum pelat merah ini harus membeli batu bara dengan harga pasar, meskipun batu bara itu dari dalam negeri.
Saat ini, harga batu bara acuan per Juli 2018 mencapai US$ 104,65 per ton. Jika mengikuti Kepmen ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik, PLN semestinya membelinya hanya US$70 per ton untuk kalori 6.332 GAR atau mengikuti harga batu bara acuan (HBA) jika di bawah US$ 70 per ton.
Dengan pencabutan itu, PLN harus membayar lebih mahal dan akan berdampak pada keuangannya. "Beban operasi untuk pembangkit listrik yang punya PLN akan meningkat," kata Marwan di Jakarta, Senin (30/7).
Sebelumnya, pemerintah berencana menghapus harga khusus batu bara untuk menambah devisa sehingga bisa menambal defisit neraca pembayaran. Berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan 425 juta metric ton, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar US$ 104,65 per metric ton.
Namun, pandang serupa Marwan disampaikan oleh Fahmy Radhi. Bahkan, menurut dosen Universitas Gadjah Mada ini, jika pun perusahaan batu bara dipungut iuran US$ 2-3 per metric ton tidak bisa menutup beban yang ditanggung PLN.
Dia menghitungnya seperti ini. Produksi nasional batu bara sekarang 425 juta ton. Dengan asumsi 25 % produksi dipasok ke dalam negeri sebesar 106,25 juta ton, tambahan beban biaya PLN sekitar US$ 3,68 miliar ketika DMO dicabut. Sementara itu, iuran dari pengusaha hanya US$ 1,28 miliar, dengan asumsi iuran US$ 3 per metric ton dari total produksi nasional.
Pembatalan DMO harga batu bara ini bisa semakin memperbesar kerugian PLN yang berkepanjangan. “Kalau kerugian itu dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan PLN terancam bangkrut,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Selasa (31/7).
Sebagai catatan, PLN sudah menderita kerugian pada semester I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun. Padahal pada periode yang sama 2017, PLN masih mencatat laba bersih Rp 510,17 miliar.
Menurut Fahmy, kalau penjualan 25 % kepada PLN atau sebesar 106 juta metric ton dijual dengan harga pasar, tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi sebesar US$ 11,12 miliar (106 juta metric ton x US$ 104,65). Tetapi kalau menggunakan harga DMO US$ 70 per metric ton, pendapatan penguasaha turun menjadi US$ 7,44 miliar (106 juta x US$ 70).
Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$ 3,68 miliar (US$ 11,12-US$ 7,44). Sementara itu, menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar US$ 25 miliar. “Selisih harga itu tidak signifikan,” ujar dia.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan PLN tidak merugi dengan kebijakan pencabutan formula harga khusus tersebut. Hal ini berdasarkan hitung-hitungan yang telah dilakukanya terkait imbas kebijakan terhadap keuangan PLN.
Menurut Luhut, kebijakan tersebut malah akan memperkuat PLN. "Enggak ada (rugi), kami sudah hitung keuangan PLN. Kami tidak ingin PLN keuangannya goyang," ujar dia di Jakarta, Senin (30/7).
(Baca: Sri Mulyani Surati Jonan dan Rini Soal Risiko Gagal Bayar Utang PLN)
Sementara itu, menurut Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, yang perlu menjadi fokus pemerintah saat ini seharusnya mengurangi produksi batu bara, bukan meningkatkan demi ekspor. Ini untuk menjaga faktor lingkungan. “Pemerintah juga sudah janji mengurangi gas emisi,” kata dia.