Pembahasan Revisi Undang-undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) menuai kritik. Beberapa pihak menganggap Undang-undang baru itu memiliki beberapa masalah. Sehingga, penerbitannya harus ditunda.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan penundaan ini penting karena aturan itu tidak sesuai kepentingan nasional. “Pembentukan UU Minerba yang baru pada pemerintahan saat ini harus ditunda,” kata dia di Jakarta, Rabu (11/7).
Salah satu masalah itu mengenai penguasaan negara di sektor tambang. Di aturan anyar tersebut belum mengatur secara komprehensif penguasaan negara melalui pengelolaan tambangan minerba oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan perubahan di RUU Minerba ini cukup banyak, sehingga lebih menyerupai aturan baru daripada revisi. Padahal seharusnya, revisi UU Minerba cukup melakukan penyesuain atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang otonomi daerah dan beberapa keputusan Mahkamah Konstitusi.
Menurut Irwandy, dalam aturan itu perlu ada penggolongan barang hasil tambang strategis, vital, nonstrategis dan nonvital. Ini untuk mendukung pembangunan jangka panjang. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pembentukan badan usaha negara khusus untuk memegang konsensi.
RUU Minerba juga harus memuat aturan konservasi cadangan mineral. Ini karena cadangan mineral nasional sangat minim. Salah satunya adalah cadangan emas yang hanya 0,0000117 ton per kapita. “Hampir semua hal itu belum terakomodasi dalam RUU Minerba,” ujar Irwandy.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Tino Ardyantho juga menemukan adanya ketidakjelasan di RUU Minerba. Salah satunya adalah mengenai pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kewajiban divestasi perusahaan pemegang IUP Operasi Produksi yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan pemurnian.
Dalam RUU Minerba terdapat ketentuan mengenai perubahan usaha pertambangan dalam bentuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) menjadi izin. Namun tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai kapan perubahan dilakukan, serta tata cara pelaksanannya.
Tino juga melihat ada perbedaan definisi terminology yang ada di RUU Minerba, sehingga menimbulkan kerancuan dalam pemahaman dan penerapannya. Seharusnya terminology mengacu institusi atau pemangku kepentingan terkait seperti Kementerian Perdagangan atau pasar komoditas. “RUU ini sarat dengan kerancuan akademis dan penafsiran teknis,” ujar dia.
Adapun pengurus Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Iwan Munajat menyoroti pasal 17 mengenai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Pasal itu menyebutkan luas wilayah bisa ditambah, berdasarkan kriteria yang dimiliki pemerintah pusat. Opsi ini berpotensi menimbulkan eksploitasi besar-besaran.
Hal lainnya yang perlu disorot adalah tidak adanya pasar mengenai ketentuan divestasi.”Kewajiban divestasi harus tetap diberlakukan,” ujar Iwan.
Ketua Umum Asosiasi Metalurgi dan Material Indonesia (AMMI) Ryad Chairil meminta adanya penegasan dalam RUU Minerba, terkait kewajiban melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Ini untuk mendukung industri manufaktur.
(Baca: Jonan Nilai UU Minerba Tak Perlu Revisi)
Direktur Pembinaan dan Pengusaha Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Susigit mengatakan RUU ini masih dalam pembahasan dan belum diserahkan kepada DPR, "Ini masih dibahas sebelum diserahkan ke DPR sebagai inisiator awal perubahan UU ini," ujar dia kepada Katadata.co.id, Rabu (11/07).