Blok Mahakam mendapat sorotan karena kinerja selama Semester I tahun 2018 berada di bawah target. Padahal produksi blok ini diharapkan bisa meningkat setelah diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) ketika kontraknya berakhir 31 Desember 2017 lalu.
Dosen Pengajar Univesitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan Pertamina tak bisa memenuhi syarat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ketika menyerahkan blok itu dari Total E&P Indonesie ke Pertamina, yakni meningkatkan produksi dan menurunkan biaya. "Kalau Pertamina tak berhasil mencapai kedua syarat itu, berarti mereka gagal mengelola blok terminasi," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (9/7).
Menurut Fahmy Radhi, jika memang Pertamina gagal memenuhi target itu, Kementerian ESDM harus mempertimbangkan hal lain dalam memutuskan nasib blok yang kontraknya akan berakhir. Pemerintah harus memberikan peluang kepada kontraktor eksisting, jika mereka mampu menaikkan lifting dan lebih efisien.
Dalam periode 2020 hingga 2026 ada 18 blok migas yang akan berakhir kontraknya. Salah satunya adalah Rokan yang diperebutkan Chevron Indonesia sebagai kontraktor eksisting dan Pertamina. “Kalau benar Pertamina gagal, maka blok terminasi yang akan berakhir, termasuk Rokan, tidak harus diberikan pengelolaan kepada Pertamina,” ujar Fahmy.
Mengacu data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), lifting minyak PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) hanya mencapai 46.376 bph selama enam bulan terakhir. Padahal targetnya di APBN 2018 sebesar 48.271 bph.
Tak hanya minyak, lifting gas PHM juga gagal mencapai target. Capaiannya 916 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau 83,3 persen dari target 1.100 mmscfd.
Jika berkaca ke tahun lalu, capaian lifting minyak blok Mahakam saat masih dikelola Total E&P Indonesia sempat tembus sebesar 52 ribu bph, meskipun tidak juga mencapai target yang ditetapkan 54 ribu bph. Begitu juga dengan lifting gas Blok Mahakam tahun lalu mencapai 1.255 mmscfd dari target yang dipatok sebesar 1.298 mmscfd.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi mengatakan lifting Blok Mahakam belum mencapai target karena hasil pengeboran sumur di luar ekspektasi awal, sehingga dampaknya terhadap peningkatan produksi tidak terlalu besar. "Setelah realisasi ternyata tidak sebesar dulu yang dihitung," kata dia di Jakarta, Jumat (7/6).
Direktur PT Pertamina Hulu Mahakam Ida Yusmiati mengatakan hingga awal Juni pengeboran sumur pengembangan di Blok Mahakam telah selesai 13 sumur. Angka itu masih di bawah target tahun ini yakni mengebor 69 sumur. Ini karena Pertamina masih menunggu dua rig lainnya yang akan tiba di Blok Mahakam antara Juli hingga September mendatang.
Saat ini, hanya tiga rig yang beroperasi di Blok Mahakam. Jika semua kondisi lancara, Ida optimistis target pengeboran sumur pengembangan tahun ini bisa tercapai.
Selain mengebor sumur pengembangan, ada beberapa kegiatan lainnya yang masuk dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) PHM tahun ini. Di antaranya pengerjaan ulang (workover) sebanyak 132 sumur. Ada juga perawatan 5.623 unit sumur, serta kegiatan pengembangan lanjutan (Plan of Further Development/PoFD) di lima lapangan.
(Baca: Pertamina Selesaikan Pengeboran 13 Sumur di Blok Mahakam)
Tahun ini, Pertamina menganggarkan sekitar dari US$1,7 miliar atau sekitar Rp 23 triliun untuk Blok Mahakam. Dana itu terdiri dari belanja modal sebesar US$ 700 juta dan biaya operasional sebesar US$ 1 miliar.