Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong pemerintah untuk memulai penggunaan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) di blok minyak dan gas bumi (migas), terutama Rokan. Ini karena harga minyak yang mengalami tren kenaikan di level US$ 70 per barel, sehingga membuat teknologi itu ekonomis untuk diterapkan.

Anggota Komisi VII DPR Kurtubi menilai penggunaan EOR ini bisa mendongkrak produksi migas, yang ujungnya adalah capaian lifting.  "Terapkan EOR di Chevron supaya lifting migas meningkat," kata dia dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (5/6).

Menjawab hal tersebut, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan pihaknya sudah mempertimbangkan untuk penerapan EOR di Blok Rokan. Bahkan ini menjadi syarat bagi Chevron jika ingin memperpanjang kontrak blok tersebut.

Adapun kontrak Blok Rokan akan berakhir tahun 2021. “Makanya full scale EOR, kami jadikan syarat untuk mereka mengajukan perpanjangan kontrak," kata Jonan.

Blok Rokan kini salah satu penopang produksi minyak nasional. Sepanjang empat bulan terakhir produksi blok itu hanya tercapai 99,39%. Perusahaan asal Amerika Serikat itu hanya bisa memproduksi minyak 212.256 bph dari target 213.551 bph.

Sementara itu, total produksi minyak sejak awal tahun hingga 30 April 2018 secara nasional masih berada di level 778,02 ribu bph. Padahal targetnya 800 ribu bph.

Kemudian, lifting minyak dan gas bumi (migas) hingga Mei 2018 masih di bawah target. Hingga 24 Mei 2018 sebesar 1,895 juta barel setara minyak per hari (bsmph). Padahal targetnya 2 juta bsmph.

(Baca: Hingga Mei, Lifting Migas Masih Belum Capai Target)

Di sisi lain, harga minyak Indonesia periode Mei sudah mencapai US$ 72,46 per barel. Angka ini merupakan capaian tertinggi setelah harga minyak menyentuh level US$ 70 per barel terakhir kali November 2014. 

Mengenai nasib Blok Rokan setelah kontrak berakhir, Kementerian ESDM masih mengevaluasi proposal Chevron dan Pertamina, yang sudah menyatakan minat. Targetnya keputusan bisa diambil Juli mendatang.

Reporter: Anggita Rezki Amelia