Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum bisa memutuskan nasib Blok Makassar Strait setelah kontraknya berakhir. Alasannya, hingga kini Chevron Indonesia belum mengajukan proposal perpanjangan menggunakan skema gross split.
Sebenarnya, perusahaan asal Amerika Serikat itu sudah mengajukan proposal perpanjangan Blok Makassar Strait ke Kementerian ESDM. Namun, saat itu, skema yang digunakan masih kontrak bagi hasil yang menggunakan cost recovery (pengembalian biaya operasional).
Alhasil, Kementerian ESDM meminta Chevron memperbaiki proposal tersebut dengan menggunakan skema kontrak gross split. Akan tetapi, Chevron meminta waktu untuk mengajukan proposal skema gross split karena harus menghitung keekonomian.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan seharusnya nasib Blok Makassar Strait ini bisa diputuskan segera, tapi itu harus tertunda karena harus menunggu proposal Chevron. “Dia minta waktu lagi kira-kira pekan ke dua Juni 2018 akan memberikan proposal,” kata dia di Jakarta, Jumat (25/5).
Adapun, kontrak Blok Makassar Strait akan berakhir 25 Januari 2020. Saat ini, Chevron memiliki hak kelola 72% dan bertindak sebagai operator. Kemudian ada mitranya yakni Sinopec 18% dan PT Pertamina Hulu Energi 10%.
Blok Makassar Strait termasuk dalam proyek ultra laut dalam (Indonesian Deepwater Development/IDD). Blok ini memiliki tiga lapangan yakni West Seno, Gendalo dan Maha. West Seno saat ini sudah berproduksi. Sedangkan Gendalo masih dalam tahap pengembangan bersama Lapangan Gehem.
(Baca: Kementerian ESDM Minta Chevron Ajukan Ulang Proposal Makassar Strait)
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), produksi minyak dari Blok Makassar Strait bisa mencapai 1.965,71 barel per hari. Sedangkan produksi gasnya sebesar 2,04 MMSCFD.