Penentuan mitra eksisting PT Pertamina (Persero) di blok minyak dan gas bumi (migas) yang kontraknya berakhir tahun ini masih menjadi kontroversi. Sebab, pemilihan mitra adalah persoalan bisnis yang menjadi ranah Pertamina, bukan pemerintah.

Menurut Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, Pertamina sebenarnya tidak wajib menggandeng mitra di blok yang kontraknya akan berakhir. Penentuan mitra ini juga berbeda dengan pemberian hak kelola kepada pemerintah daerah.

Untuk pemberian hak kelola kepada pemerintah daerah itu juga ada aturannya. Mengacu Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 tahun 2016, hak kelola 10% kepada pemerintah daerah itu setelah rencana pengembangan lapangan (Plan of Development/PoD) I disetujui.

Pemilihan mitra ini semestinya menjadi urusan bisnis antara Pertamina dengan badan usaha lain, bukan pemerintah. “Pemerintah tidak pada tempatnya jika mencampuri urusan ini,” kata dia di Jakarta, Selasa (10/4).

Pri mengatakan pemilihan mitra itu juga seharusnya melalui pertimbangan untuk melengkapi hal atau aspek yang dibutuhkan atau belum ada di Pertamina. Mitra yang dipilih, semestinya adalah yang bonafide.

Terhadap rencana Pertamina yang akan meminta masukan BPK, Kejaksaan Agung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga penegak hukum lainnya, Pri mendukung agar segala sesuatunya menjadi lebih transparan dan tidak menimbulkan kesan atau dugaan yang bisa kontraproduktif.

“Hal-hal semacam ini, jika tidak diperjelas, bisa mengesankan adanya praktik atau indikasi yang mengarah kepada fenomena seperti 'papa minta saham'. Karena, logika yang dapat dipakai kemudian adalah bahwa jika ada sesuatu yang sederhana lalu menjadi kompleks, pasti ada sesuatu. Kesan semacam ini harus dihindari karena dapat memberikan sinyal negatif kepada pelaku usaha hulu migas yang lain, yang pada gilirannya dapat membuat iklim investasi hulu migas menjadi tidak kondusif”, ujar Pri.

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kardaya Warnika mengatakan pemilihan mitra itu seharusnya diserahkan ke Pertamina. Ini karena perusahaan itu yang mengerti kebutuhannnya. “Misalnya kekurangan dana, cari perusahaan yang memiliki dana. Kekurangan teknologi, cari perusahaan yang memiliki teknologi,” ujar dia.

Namun, Kardaya tidak sepakat jika Pertamina harus menggandeng aparat hukum untuk menentukan itu. Alasannya, penegak hukum memiliki fungsi yang berbeda dengan pemerintah atau pun Pertamina.

Jika, aparat hukum dilibatkan, Kardaya khawatir itu bisa mencampuri kewenangan masing-masing institusi. “KPK, polisi, dan Kejaksaan Agung ini lembaga yudikatif, kalau masuk ekseskutif siapa yang mengawasi,” ujar dia.

Seperti diketahui, Pemerintah telah menyampaikan beberapa mitra di beberapa blok terminasi. Salah satu contohnya adalah Blok Sanga-Sanga. Di sana Pertamina akan bermitra dengan PT Karunia Utama Perdana, Opicoil dan BUMD.

(Baca: Dua Mitra Baru Pertamina di Blok Sanga-Sanga)

Adapun PT Karunia Utama Perdana merupakan perusahaan baru yang memegang hak kelola Sanga-Sanga. Sebelumnya pemegang hak kelola di blok itu adalah VICO memegang hak kelola 7,50%, VIC sebesar 15.63%, PT Saka Energi Sanga Sanga 26.25%, ENI 26.25%, Universe Gas & Oil sebesar 4.38% dan OPICOIL 20%. 

(REVISI: Artikel ini telah diperbarui pada hari Jumat, tanggal 13 April 2018, pukul 21.30 WIB. Revisi pada paragraf ke-2, 4, 5, dan 6 ini atas permintaan dan kesepakatan narasumber yaitu Pri Agung Rakhmanto dengan Redaksi Katadata. Tujuannya agar penjelasan narasumber tersebut dapat disampaikan secara utuh dan tidak terjadi kesalahpahaman / misleading pada pembaca. Terima kasih.)