Bangun SPBU Tak Perlu Lagi Surat Keterangan Penyalur

Arief Kamaludin|KATADATA
15/3/2018, 18.55 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 tentang kegiatan penyaluran Bahan Bakar Minyak/BBM, Bahan Bakar Gas/BBG dan elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG). Aturan ini menghapus adanya Surat Keterangan Penyalur/SKP dan mengatur keberadaan subpenyalur BBM, BBG dan LPG.

Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi/Migas Kementerian ESDM Harya Adiyawarman mengatakan badan usaha yang ingin jadi penyalur BBM cukup melamar ke badan usaha niaga migas yang bersangkutan, misalnya PT Pertamina (Persero). Setelah itu, Pertamina melaporkannya kepada Direktorat Jenderal Migas.

Ada beberapa kriteria yang wajib dipenuhi badan usaha jika ingin jadi penyalur, seperti wajib memiliki sarana dan fasilitas BBM; wajib sediakan Premium dan Solar; memakai logo dan merek dagang Badan usaha yang bersangkutan dalam menjual BBM, dan wajib menjual BBM langsung kepada pengguna akhir.  Pengguna akhir itu seperti transportasi,  dan juga pelanggan kecil.  

Dalam melaporkan penyalur ke Ditjen Migas, Badan usaha niaga migas wajib melampirkan sembilan data penting. Data itu adalah nama penyalur, akta pendirian, Tanda Daftar Perusahaan (TDP), nomor pokok wajib pajak penyalur, komisaris dan direksi; surat perjanjian kerja sama penyalur, dokumen keselamatan sesuai dengan ketentuan perundangan, dokumen lingkungan sesuai dengan ketentuan perundangan dan Izin lokasi dari pemerintah kabupaten/kota terkait dengan lokasi sarana dan fasilitas.

Dalam aturan itu badan usaha tidak boleh menjadi penyalur dari dua badan usaha. Misalnya suatu badan usaha yang sudah menjadi penyalur Pertamina tidak boleh juga menjadi penyalur AKR. 

Dengan aturan ini harapannya minat investor untuk berinvestasi di sektor hilir yakni BBM akan meningkat. Dengan demikian akan berimbas pada peningkatan jumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Saat ini jumlah SPBU baru mencapai 6-7 ribu unit dan belum menjangkau semua daerah, "Semoga dengan kemudahan ini investasi meningkat, otomatis SPBU juga meningkat," kata Harya Jakarta, Kamis (15/3).

Selain itu, aturan ini mengatur  mengenai sub penyalur BBM. Sub penyalur BBM adalah perwakilan dari sekelompok konsumen pengguna Solar dan Premium di daerah yang tidak terdapat penyalur. Jadi sub penyalur BBM ini hanya menyalurkan BBM khusus kepada anggotanya dengan kriteria yang ditetapkan BPH Migas.

Anggota BPH Migas Henry Ahmad mengatakan sub penyalur ini bertujuan untuk mempermudah sekolompok masyarakat di suatu daerah yang sulit mengakses BBM. Sub penyalur ini bisa berbentuk SPBU mini yang hanya menjual BBM Premium dan Solar.

Nantinya sub penyalur mengambil pasokan BBM dari penyalur yang telah ditunjuk badan usaha niaga migas seperti Pertamina. Namun harga BBM yang dijual dari sub penyalur tidak sama dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

Alasannya mereka harus menanggung ongkos transportasi BBM dari penyalur ke sub penyalur. "Jadi ini sub penyalur hanya untuk mempermudah sekelompok orang yang tidak bisa peroleh BBM, jadi mreka bersepakat bentuk sub penyalur, disitu ada ongkos angkut yang ditanggung bersama," kata Henry.

Hal ini sudah terjadi di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Di sana harga Premium RP 7.000 per liter. Padahal pemerintah menetapkan Rp 6.450 per liter. Namun, harga itu lebih murah karena di daerah tersebut sebelumnya bisa mencapai Rp 10 ribu hingga 11 ribu per liter.

(Baca: Pertamina dan AKR Gandeng Muhammadiyah Bangun SPBU)

Adapun peraturan Menteri nomor 13 tahun 2018 telah berlaku sejak 23 Februari lalu. Aturan ini juga berlaku untuk penyaluran Bahan Bakar Gas (BBG) dan juga elpiji (Liquefied Petroleum Gas/LPG).

Reporter: Anggita Rezki Amelia