PT Bukit Asam Tbk (Persero) membukukan laba bersih pada 2017 sebesar Rp 4,47 triliun atau meningkat drastis sebesar 123,5 persen dari Rp 2 triliun pada tahun sebelumnya. Meningkatnya laba ini disebabkan beberapa efisiensi yang diterapkan perusahaan, kenaikan harga batu bara, dan peningkatan produksi.
"Efisiensi secara terus-menerus lakukan. Dari efisiensi yang dilakukan sepanjang 2017, kami bisa mengurangi jasa penambang sebanyak Rp 785 miliar atau turun 6 persen dari tahun sebelumnya. Padahal jumlah produksi batu bara mengalami peningkatan," ujar Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin saat konferensi pers di The Ritz-Carlton Hotel, Jakarta, Senin (12/3).
Dia menjelaskan ada beberapa langkah efisiensi yang dilakukan. Pertama, cara menambang yang dibuat lebih efisien dengan stripping ratio PTBA di 2017 sebesar 3,6 sementara di 2016 sebesar 4,9. Kedua, efisiensi pada tarif penambangan, baik yang dikelola oleh PTBA sendiri maupun mitranya. Porsi yang dikelola PTBA mulai naik cukup signifikan dan biayanya bisa dikontrol sendiri.
"Ini berakibat ke cash cost. Artinya, biaya penambangan di mulut tambang berkurang dari Rp 655 ribu per ton menjadi Rp 641 ribu per ton," ujarnya.
Harga jual rata-rata batu bara meningkat 23,7 persen dari Rp 658.018 menjadi Rp 814.216 di tahun lalu. Peningkatan ini seiring kenaikan harga jual di Newcastle dan batu bara thermal Indonesia (Indonesia Coal Index/ICI), masing-masing sebesar 34 dan 32 persen.
(Baca: Harga Batu Bara Maret 2018 Cetak Rekor Tertinggi 6 Tahun Terakhir)
Sepanjang tahun lalu, Bukit Asam (PTBA) memproduksi batu bara sebanyak 24,2 juta ton, naik 23,3 persen dari tahun sebelumnya. Dari total tersebut, PTBA yang bermitra dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero), bisa mengangkut 21,4 juta ton batu bara, yang meningkat 20,9 persen.
Secara volume, penjualan batu bara PTBA di 2017 mencapai 23,63 juta ton, meningkat 13,9 persen dibanding tahun sebelumnya sebesar 20,75 juta ton. Komposisi penjualan tahun lalu, masih didominasi oleh penjualan domestik sebesar 61 persen, sementara ekspor 39 persen.
PTBA menargetkan produksi batu bara pada 2018 sebesar 25,54 juta ton atau naik 5,5 persen dari realisasi pada 2017 lalu yang sebesar 24,2 juta ton. Sedangkan penjualan ditargetkan 8 persen menjadi 25,88 juta ton. Komposisinya 53 persen untuk pasar domestik dan 47 persen ekspor.
"Peningkatan target ditopang oleh rencana penjualan ekspor untuk batubara medium to high calorie ke premium market seiring dengan semakin membaiknya harga batu bara," ujar Arviyan.
Dia membantah peningkatan porsi ekspor dipengaruhi kebijakan pemerintah mematok harga batu bara untuk pembangkit dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Menurutnya, dengan adanya kebijakan ini pun, rata-rata harga batu bara yang dijual PTBA masih tinggi.
(Baca: Kebijakan Harga US$ 70 per Ton Masih Positif Bagi Emiten Batu Bara)
Arviyan menjelaskan hanya 25 persen batu bara PTBA yang dijual dengan harga DMO. Sisanya 75 persen dijual dengan harga normal, sehingga harga rata-rata batu bara yang dijual PTBA sekitar US$ 90 per metrik ton. Harga tersebut lebih tinggi dari rata-rata harga batu bara beberapa tahun lalu.
"HBA (harga batu bara acuan) 2017 itu rata-rata US$ 85 per metrik ton. Jadi, kalau bicara HBA, kalau harga batu bara masih di atas US$ 100 per metrik ton, rata-ratanya masih US$ 90 per metrik ton lebih," ujarnya.
Menurutnya kebijakan pemerintah ini tidak perlu terlalu dicemaskan. Memang sedikit berpengaruh terhadap perusahaan, tapi tidak signifikan. Dia menjelaskan kebijakan ini akan terkompensasi oleh dua hal. Pertama, 75 persen batu bara PTBA dijual dengan harga relatif lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Kedua, PTBA juga menjual batu bara berkalori tinggi yang harganya premium.