Sidang mediasi kedua kasus tumpahan minyak Montara telah digelar Selasa 16 Januari 2018 lalu. Namun, sidang gugatan pemerintah Indonesia atas perusahaan asal Thailand PTT EP dan anak usahanya dengan perkara Nomor 241/Pdt. G/2017/PN. Jkt. Pst berakhir buntu.

Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jasmin Ragil Utomo mengatakan pihak tergugat yang hadir dalam sidang tersebut hanya satu. Padahal pemerintah menggugat tiga entitas bisnis. “Sidang dihadiri oleh Penggugat dan hanya Tergugat 3,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Kamis (18/1).

Adapun tergugat I yaitu The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia  Pty Ltd yang ada di Australia. Tergugat II adalah The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) dan tergugat III yakni The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT PCL) yang sama-sama ada di Thailand.

Menurut Jasmin, sebenarnya kunci permasalahan ini ada pada tergugat I selaku pelaku. Namun, The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia tidak hadir dengan alasan ada kesalahan alamat.

Sementara itu,  dalam sidang tersebut tidak ada persamaan persepsi antara penggugat dan tergugat 3. Alhasil tidak ada temu dari kedua belah pihak. “Hakim Mediator menyatakan "Mediasi dead-lock", dan  akan diserahkan kembali kepada Majelis a quo,” kata Jasmin.

Menurut Jasmin, sidang selanjutnya nantinya akan ada agenda pembacaan gugatan. Namun penggugat masih menunggu relaas atau surat panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Seperti diketahui, pemerintah menggugat PTT EP dan afiliasinya karena diduga mencemari perairan di Nusa Tenggara Timur karena bocornya minyak mentah dari unit pengeboran di Montara tahun 2009. Pemerintah mengajukan tuntutan sebesar Rp 27,4 triliun yang terdiri dari dua komponen.

(Baca: Kasus Minyak Montara, Pemerintah Tuntut Ganti Rugi Rp 27 Triliun)

Pertama, komponen ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp 23 triliun. Kedua, biaya untuk pemulihan kerusakan lingkungan sebesar Rp 4,4 triliun.