Harga minyak dunia jenis Brent berhasil menyentuh level US$ 70 per barel. Capaian ini merupakan yang tertinggi sejak Desember tahun 2014.
Capaian harga minyak hingga level US$ 70 per barel ini terjadi pada Kamis (11/1). Saat itu, harga minyak jenis Brent meningkat 1,2% ke level US$ 70,05 per barel. Sedangkan per hari ini bertengger di US$ 69,27 per barel pada pertengahan hari ini.
Kenaikkan harga Brent kemarin, sebenarnya menunjukkan upaya pemangkasan produksi negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC dan sekutunya sukses menghalau banjir pasokan akibat pertumbuhan minyak serpih Amerika Serikat. Pemangkasan ini rencananya terus dilakukan hingga akhir tahun.
Pada akhir 2017, total produksi negara-negara OPEC mencapai 32,28 juta barel per hari. Sementara target untuk Januari, pasokan minyak bisa berkurang menjadi 31,75 juta barel per hari. Target itu pun kemungkinan tidak akan tercapai.
Penyebab lainnya meningkatnya harga minyak adalah ketegangan politik yang terjadi di negara OPEC seperti Iran dan Venezuela. "Semua fundamental mendukung kenaikan harga saat ini," kata Kepala Riset Komoditas Standard Chartered Plc, Paul Horsnell, dikutip dari Bloomberg, Jumat (12/1).
Meski begitu, kenaikkan harga ini memunculkan kekhawatiran yang selama ini dihindari negara OPEC. Dengan harga minyak yang tinggi akan merangsang produksi Amerika Serikat. Produksi minyak Amerika Serikat ini bahkan diprediksi bisa menyaingi Arab Saudi dan Rusia.
Energy Information Administration (EIA) memprediksi produksi minyak AS bisa menembus 10 juta barel per hari (bph) paling cepat bulan depan dan meningkat menjadi di atas 11 juta bph sebelum akhir tahun 2019. “US$ 70 per barel itu berlebihan. Akan ada reaksi dari minyak serpih AS dan strategi OPEC bisa menjadi bumerang,” ujar Kepala Riset Komoditas di Commerzbank AG Eugen Weinberg.
Dampak ke Indonesia
Gejolak harga minyak ini juga bisa berdampak ke Indonesia. Menurut tim riset DBS, jika harga minyak meningkat, akan berdampak positif terhadap anggaran pemerintah Indonesia. Sebab, pendapatan pajak dan nonpajak dari sektor migas yang diperkirakan Rp 113 triliun masih 10 persen lebih tinggi dibanding subsidi energi 2018.
Di sisi lain, kenaikkan harga minyak dunia juga dapat memicu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ujungnya akan berdampak pada naiknya harga barang pokok yang disebabkan mahalnya biaya produksi.
Dengan menggunakan Consumer Price Index (CPI)—indikator penghitungan tingkat inflasi di suatu negara, sektor transportasi dan listrik menjadi kontributor terbesar dalam menentukan di Indonesia, mencapai 25 persen dari seluruh kategori CPI yang ada. Oleh sebab itu, DBS memprediksi tiap 10 persen kenaikan harga minyak mentah dunia, akan berdampak terhadap peningkatan inflasi sebesar 0,6.
(Baca: Harga Minyak Jadi Salah Satu Tantangan Utama Ekonomi Indonesia 2018)
Kondisi ini jelas menjadi tantangan bagi pemerintah di tengah upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing untuk mendorong masuknya investasi. Sebab, inflasi merupakan elemen penting yang mempengaruhi rating (peringkat) investasi sebuah negara.