Pemerintah Indonesia dan The Petroleum Authority of Thailland Exploration and Production (PTTEP) telah melakukan proses mediasi terkait kasus pencemaran laut akibat meledaknya kilang di sumur Montara. Dalam proses negosiasi ini pemerintah Indonesia akan meminta langkah konkret dari perusahaan Thailand itu untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Proses mediasi ini berlangsung pada 20 Desember 2017 lalu. Adapun mediasi dipimpin hakim mediator Wiwik Suaharsono. Sementara pemerintah Indonesia diwakili Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kejaksaan Agung. 

Dalam sidang tersebut, PTT EP menyatakan beritikad baik untuk mengikuti prosedur yang ada. Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa KLHK Jasmin Ragil Utomo usai mediasi, mengatakan kalau pemerintah Indonesia menunggu langkah konkret dari pihak PTT.

Apalagi PTT EP diduga mencemari perairan di Nusa Tenggara Timur karena bocornya minyak mentah dari unit pengeboran di Montara tahun 2009. “Yang kami harapkan tidak hanya itikad baik dalam bentuk kehadiran, tapi yang jelas apa upaya konkretnya mereka,” ujar Jasmin berdasarkan keterangan resminya, Kamis (21/12).

Setelah proses itu, hakim mediator kemudian memutuskan menggelar mediasi kedua tanggal 16 Januari 2018. Wiwik meminta agar kuasa hukum tergugat sudah mempersiapkan konsep atau proposal berdasarkan materi gugatan pemerintah Indonesia.

Persiapan konsep atau proposal ini tujuannya agar proses mediasi berjalan lancar. “Ini penting, agar pada saat mediasi nanti bisa lebih efektif waktunya,” tegasnya.

Di sisi lain, Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Bidang Kemaritiman Arif Havas Oegroseno mengatakan kalau pemerintah Indonesia di masa silam telah berupaya untuk menyelesaikan masalah ini. Upaya tersebut melalui perundingan langsung ataupun pembentukan Neutral Committee, yang beranggotakan Mantan Menlu RI Dr. Hassan Wirajuda, Mantan Menlu dan Deputi PM Thailand Dr. Surakiart Sathirathai dan Juha Christensen dari Finlandia.

Bahkan pada Juli 2011 telah disusun draft MOU tentang Penyelesaian Tuntutan Ganti Rugi Pencemaran di Laut Timor. Rencananya, MOU tersebut akan ditandatangani pada 2 Agustus 2011. Namun, rencana tersebut batal.

Akan tetapi, Indonesia terus berupaya melanjutkan pembicaraan dengan PTTEP.  Namun dengan strategi mengulur waktu, berbagai upaya penyelesaian melalui perundingan terus menerus ditunda atau ditolak oleh PTTEP. 

Sikap tidak kooperatif PTTEP melalui taktik mengulur waktu menjadi faktor utama bagi Pemerintah untuk menempuh jalur hukum sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pemerintah Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk menyelesaikan masalah ini.

Sesuai laporan keuangan 2017, PTTEP hingga 31 Desember 2016 memperoleh pendapatan sebesar US$ 4.3 miliar dengan aset senilai US$ 18.8 miliar.  Nilai saham PTTEP adalah 99 baht atau sekitar 40 ribu rupiah.

(Baca: Bantah Luhut, PTT EP Tak Bayar Kompensasi Montara ke Australia)

Tidak hanya langkah hukum, pemerintah Indonesia juga mengambil kebijakan lain.  Sampai terdapat suatu bukti itikad baik yang nyata dan hasil penyelesaian kasus Montara, PTT EP belum dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan baru eksplorasi migas atau lainnya di Indonesia.