“Perbaikan Sistem, Prasyarat Transparansi Industri Migas”

Arief Kamaludin | Katadata
Penulis: Jeany Hartriani
16/10/2017, 13.17 WIB

Sebenarnya ini terjadi karena ada perbedaan waktu. Masing-masing perusahaan menghitung under lifting maupun over lifting di waktu yang berbeda, caranya juga berbeda. Memeriksa perbedaan ini merupakan tugasnya EITI. Jika ada perbedaan, tolong dilihat, barangkali karena perbedaan waktu. 

Bagaimana perbedaan waktu mempengaruhi?

Ini rumit memang. Karena waktunya berbeda, perlu ada adjustment antara over lifting dan under lifting. Misalnya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mengaudit, terus dari auditnya disepakati bahwa ini lifting-nya kebanyakan. Itu artinya perlu ada koreksi. Kalau ada perbaikan, berarti hitung-hitungan bagian negara juga ikut berubah. Itu perlu dilihat satu per satu dan akan memakan waktu lama.

Terkait EITI, apakah inisiatif yang telah berjalan sejak 2007 di Indonesia ini sudah berjalan baik?

Secara konsep, EITI sudah benar. Tapi implementasinya perlu didukung sistem yang tepat. Seperti misalnya hitung-hitungan dana bagi hasil (DBH), ini kan belum tersistem. Susah menghitungnya dengan cara manual. 

Jadi, perbaikan sistem perlu dilakukan untuk mendukung transparansi?

Betul, terutama sistem perhitungannya. Ini semuanya merupakan work flow. Jika Ditjen Anggaran, Dirjen Migas, maupun Ditjen Pajak sudah sepakat pada satu sistem, maka datanya juga akan sama. Nanti kalau mau membandingkan setoran perusahaan dengan penerimaan negara, Ditjen-nya akan melihat dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dan penerimaan pajak, setelahnya akan disandingkan dengan data dari KKKS. Nah, ini akan sinergis jika mengikuti work flow yang tadi sudah disepakati. Kalau cut off-nya beda, pasti hasil akhirnya juga tidak akan sama. 

Saat ini EITI bekerjasama dengan pemerintah mendorong dibukanya informasi beneficial ownership (BO) atau pemilik manfaat utama di industri ekstraktif, termasuk migas. Menurut anda, apakah hal ini mendesak diterapkan di Indonesia?

Sebenarnya ini tidak terlalu mendesak dibikin peraturan karena informasi kepemilikan perusahaan, terutama migas sudah dapat diakses di Kemenkumham. Sistemnya begini, misalnya ada wilayah kerja migas, terus kita ingin mengetahui KKKS-nya siapa, pemegang interest-nya siapa, terus PT ini punya siapa, kita tinggal datang ke Sisminbakum. Semua data dapat diakses di situ.

Jadi sebenarnya industri ekstraktif, terutama migas, sudah dapat dikatakan transparan?

Iya, seperti itu. Hanya saja masalahnya, informasi ini belum tersebar sehingga banyak yang tidak tahu dan menganggap akses data itu sulit.

Halaman:
Reporter: Jeany Hartriani