Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyikapi surat penolakan dari Freeport McMoran terkait mekanisme divestasi PT Freeport Indonesia. Dia menginginkan agar divestasi dilakukan tidak melalui mekanisme penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) seperti yang diminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.
Darmin menjelaskan perhitungan atau valuasi saham Freeport dan skema divestasi merupakan kewenangan Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun, dirinya menekankan, skema divestasinya tidak akan melalui mekanisme IPO.
"Kalau itu divestasinya kan bukan IPO, tapi pemerintah yang akan beli sahamnya," ujar Darmin saat ditemui di Hotel Ritz-Charlton Kuningan, Jakarta, Selasa (3/10).
Dia mengakui masalah soal Freeport ini karena aturan terkait hal tersebut telah berubah-ubah. Dalam Kontrak Karya (KK) tidak disebutkan bahwa divestasi saham Freeport dapat melalui mekanisme IPO. Namun, terdapat aturan yang membolehkan divestasi melalui IPO. 'Tapi, (aturan) itu sudah dicabut," ujar Darmin.
(Baca: BPK: Setoran Negara Hilang Rp 6 Triliun dari Kontrak Karya Freeport)
Darmin menyatakan perundingan dengan Freeport akan terus berjalan dan diharapkan proses tersebut bisa selesai sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dia juga belum bisa memastikan apakah saham tersebut akan diambil oleh perusahaan induk (holding) BUMN Pertambangan, atau tidak.
Dalam surat tertanggal 28 September 2017 itu, Freeport menyatakan keberatannya terhadap usulan pemerintah mengenai divestasi 51% saham. “Kami sangat tidak setuju dengan pernyataan yang termasuk dalam dokumen dan menyampaikan tanggapan dan klarifikasi atas ketidakakuratan sikap pemerintah,'' dikutip dalam surat tersebut.
Setidaknya, terdapat lima poin yang ada di surat tersebut. Pertama, pemerintah bersikap kalau divestasi 51% saham Freeport bisa terlaksana paling lambat 31 Desember 2018. Karena, seharusnya proses divestasi saham ini telah selesai tahun 2011. Pemerintah pun menyatakan memiliki kapasitas keuangan yang cukup untuk melakukan hal tersebut.
Namun, Freeport mengajukan agar divestasi awal dilakukan secepat mungkin dengan melalui mekanisme penawaran saham perdana ke bursa (Initial Public Offering/IPO). Kemudian divestasi penuh dilakukan bertahap dalam periode yang sama dengan mengacu PP no. 20/1994 yang memperbolehkan kepemilikan asing.
Poin kedua, Freeport secara tegas menolak perhitungan nilai saham yang diajukan pemerintah. Pemerintah menghitung nilai saham itu berdasarkan kegiatan usaha pertambangannya hingga tahun 2021, sesuai dengan berakhirnya Kontrak Karya (KK).
Namun, Adkerson menyatakan, Freeport menginginkan perhitungan menggunakan nilai pasar secara wajar dan menggunakan standar perhitungan internasional. Caranya dengan melakukan perhitungan kegiatan Freeport hingga 2041. (Baca: Usul Divestasi dari Pemerintah Ditolak, Luhut Temui Freeport di AS)
Ketiga, pemerintah menginginkan Freeport menerbitkan saham baru (right issue) yang seluruhnya akan diserap oleh pemerintah. Hal itu ditolak Freeport. Menurut perusahaan asal Amerika Serikat itu proses divestasi dilakukan dengan cara penjualan saham perusahaan induk dan PT Mitra Joint Venture, dengan melakukan perhitungan yang diinginkan Freeport.
Keempat, pemerintah meminta seluruh haknya berupa 51% total produksi dari seluruh wilayah yang tercantum dalam IUPK setelah proses divestasi ini selesai. Freeport pun menyetujui hal ini, tetapi valuasi sahamnya dilakukan atas nilai wajar dan menghitung hingga operasinya sampai 2041.
Kelima, pemerintah meminta segera menanggapi permintaan due diligencedari Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) termasuk memberikan kemudahan dalam mengakses data demi kelancaran penerbitan IUPK. Adapun, respons Freeport yakni menyetujui untuk membuka ruang agar segera bisa melakukan due dilligence.